SETELAH sekitar sejam perjalanan akhirnya sampai juga di Pasar Hewan Munggi, Kecamatan Semanu, Gunungkidul. Perjalanan cukup melelahkan karena medan yang turun naik dan padat merayap. Libur lebaran Idul Adha dimanfaatkan banyak wisatawan lokal untuk mengunjungi sejumlah tempat wisata di Gunung Kidul, seperti pantai.
Pak Parman, warga desa Dusun Guo Kembang, Gunung Kidul yang juga pengurus Langgar Al Muttaqin menyuruh kami untuk menunggu mereka. Ia menunggang mobil pick up yang berisi kambing qurban dari Baitul Mal Hidayatullah (BMH) Jogjakarta yang akan disalurkan di dusunya. Mobil yang ia naiki memang lebih lambat dari kami yang menggunakan sepeda motor.
Pasar hewan Munggi Kecamatan Semanu, Gunungkidu adalah pasar hewan terbesar kedua di wilayah ini. Hari itu, pasar tampak kotor sekali. Banyak daun yang berserakan dan pohon-pohon yang tak berdaun. Bentuknya juga sudah lama. Tak terlihat ada seekor pun kambing atau sapi hari itu. Benar-benar sepi. Kami menunggu Pak Parman sambil menyeruput air mineral pelepas dahaga yang dibeli di warung sekitar. Sekitar sepuluh menit, Pak Parman datang. Ia lalu mengajak kami melanjutkan perjalanan.
“Lewat tikungan sebelah kanan itu,” kata Parman sambil tangannya menunjuk jalan tersebut.
Pria berkulit gelap dan berbadan kurus itu lalu menyuruh sopir untuk menggeber kembali mobilnya. Mobil tersebut langsung melaju cepat dan hilang di tikungan jalan. Kami mengikutinya dari belakang karena belum paham rute. Ternyata perjalanan masih jauh.
Dugaan tujuan tinggal sebentar lagi salah. Padahal, badan sudah mulai pegal-pegal. Mobil di depan kami terus berlari kencang menyusuri jalan terjal berbatu dan lengang.
Menaiki Puncak Gunung Kidul berbeda dari gunung lainnya. Biasanya, kalau di gunung lainnya disambut hawa dingin yang segar serta pemandangan penyedap mata. Di Gunung Kidul justru sebaliknya. Ketika kami semakin menanjak dan berada di dataran tinggi hawa justru semakin panas. Mencari pohon-pohon rindang dan hijau cukup sulit di sini. Sebab, sejauh mata memandang, yang tampak hanya barisan bukit-bukit gersang yang tandus. Mungkin itu penyebab hawa di sini panas. Selain juga karena letaknya berdekatan dengan laut.
Menuju Dusun Guo Kembang seperti menyusur mozaik panjang yang berkelok-kelok. Di sepanjang jalan terdapat hamparan sawah yang berundak-undak hingga ke atas bukit yang cukup tinggi. Tanah sawah yang berwarna merah tersebut kosong. Tak ada satu jenis tananam yang hidup. Hanya ada beberap rumput gajah untuk pakan sapi atau kambing.
Kabarnya, sudah beberapa bulan lamanya tidak turun hujan. Karena itu, masyarakat tidak bisa bercocok tanam. Petani di sini sangat tergantung air.
Kemarau yang cukup lama melanda itu berakibat pada alam yang menjadi gersang. Pohon jati, salah satu pohon yang bisa hidup di tengah alam yang gersang dan menjadi andalan masyarakat di sepanjang jalan di sini juga ikut gundul. Daun-daunya banyak berguguran.
Anehnya, pohon jati itu tumbuh di sepanjang bukit yang teronggok angkuh dan kokoh. Ia tumbuh di balik bongkahan batu cadas yang keras dan tajam. Bukit-bukit kecil itu memang dipenuhi batu sehingga masyarakat kesulitan untuk menyulapnya menjadi bahan pertanian. Paling tidak hanya sekedar pohon jati.
Sehari pasca lebaran sawah-sawah itu masih lengang. Tak ada seorang petani pun yang tampak bercocok tanam. Mungkin ditinggal empunya untuk merayakan Idul Qurban. Karena itu, sepanjang perjalanan hanya disuguhi pemandangan alam yang gersang dan lengang.
Hebatnya, di tengah kondisi alam yang memperihatinkan ini, para penduduk Gunung Kidul masih bertahan hidup dari segala keterbatasan. Mereka tidak menyerah kepada alam. Dan buktinya, hingga kini mereka bisa survive hidup meski dengan kondisi yang apa adanya.
Sejam perjalanan, kami memasuki gang desa yang cukup sempit. Di kanan kiri rumah-rumah penduduk yang terbuat dari batu. Lamat-lamat terdengar suara shalawatan dari sebuah langgar. Ya, itu Langgar Al Muttaqin, tempat Pak Parman.
Puluhan warga desa dari ibu-ibu dan bapak-bapak telah berkumpul di situ. Mereka sengaja menyambut kedatangan kami. Tampak wajah mereka berseri-seri. Mereka tersenyum dan menyapa kami penuh hangat. Ibu-ibu berkumpul di teras langgar. Sedangkan bapak-bapak menunggu di tempat pemotongan hewan qurban.
Setelah mobil diparkir, mereka langsung menurunkan hewan qurban tersebut. Kambing-kambing itu langsung digiring ke bawah pohon.
Sebelum diadakan pemotongan hewan qurban, warga yang tinggal di Dusun Guo Kembang, desa Mboto Dayaan, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta ini diajak mendengarkan ceramah terlebih dulu. Mereka mendengarkan dengan penuh antusias.
Setahun Sekali Nikmati Daging
Desa Mboto Dayaan sendiri memiliki 21 dusun. Untuk Guo Kembang jumlah penduduknya sekitar 200 orang dengan 57 KK. Hampir semua penduduk di sini memiliki mata pencaharian petani. Dan hanya satu dua orang yang PNS atau guru.
Ekonomi masyarakat di desa ini sangat memprihatinkan. Kemarau yang berkepanjangan penyebab sulitnya bercocok tanam. Untuk tahun ini saja kemarau terjadi sejak bulan April. Tak pelak, masyarakatnya hanya bisa bercocok tanam ketela atau singkong, dan kacang tanah. Sedangkan di musim hujan, biasanya mereka bisa menanam padi dan jagung.
“Ekonomi masyarakat di sini tergolong sulit. Makan juga seadanya. Bahkan, ada yang makan hanya dengan gaplek,” terang Parman kepada hidayatullah.com di kediamannya sambil menjamu makan siang dengan lauk daging hewan qurban.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Gaplek adalah jenis makanan yang terbuat dari singkong yang dikeringkan. Bagi warga desa, gaplek bisa sebagai pengganti nasi. Jika ada warga yang kehabisan beras, gaplek menjadi alternatif bagi mereka. Karena itu, di sini mereka juga menanam singkong.
Sulitnya ekonomi di daerah ini menyebabkan mereka jarang memakan daging, terutama daging kambing dan sapi. Bahkan, boleh dibilang setahun hanya sekali.
“Ya, biasanya pas Idul Adha saja. Di hari-hari lain ada, tapi sangat jarang. Itupun kalau ada warga yang mampu dan syukuran,” katanya.
Karena itu, warga sangat senang sekali ketika mendapat hewan qurban dari BMH sebanyak 60 ekor. Setidaknya, masyarakat bisa merasakan lezatnya daging kambing dan menambah gizi mereka.
Rencananya, daging tersebut juga akan diserahkan kepada masyarakat di luar Dusun Guo Kembang.
“Kami sangat senang dan berterimakasih kepada BMH Jogja. Akhirnya masyarakat bisa makan daging,” ujarnya sambil tersenyum.
Daerah ini menjadi bidikan distribusi BMH karena sangat membutuhkan daging. Setidaknya, dengan hal itu, Muslim di Gunung Kidul bisa merasakan semarak Idul Adha. Lebih dari itu, mereka akan memarasa diperhatikan imat Islam lain.
“Mereka prioritas kami dalam distribusi hewan qurban. Selain sangat membutuhkan, daerah itu adalah binaan BMH yang butuh sentuhan rohani,” ujar Syain, Petugas BMH Jogja.
Menurut Syain, di hari-hari biasa, ada dai khusus yang diterjunkan untuk membina ruhani mereka. Kini telah berdiri beberapa TPA dan majelis taklim ibu-ibu. Semoga gersangnya alam Gunung Kidul tidak membuat ruhani dan iman mereka menjadi gersang. Amin!