MENYUSURI jalan sempit dan berkelok dari pekan Kota Belud ke kampung Tamau terasa satu perjalanan yang mengambil waktu lama. Waktu itu hampir Maghrib, matahari sedang beredar, meninggalkan cahayanya yang samar-samar, namun masih jelas panorama perkampungan yang indah dengan deretan rumah berbentuk panggung, dibuat dari kayu dan bertiang tinggi sehingga melepas ketinggian siapapun yang berdiri di bawahnya.
Di bawah rumah juga berfungsi sebagai tempat parkir mobil. Bentuknya hampir menyamai bentuk rumah Negeri Kelantan zaman dulu.
Penulis tiba di kampung Tamau ketika azan Maghrib berkemundang dari masjid Pondok Fiidzilalil Quran yang dibuat dari batu. Masjid itu sederhana besarnya, sekaligus menjadi tempat pelajar pondok mentala’ah pelajaran. Di sebelah masjid terdapat sebuah rumah kecil, rumah separuh batu dan separuh kayu itu adalah tempat tinggal sang ustaz yang bertugas sebagai guru mengajar santri. Seitar 150 meter dari rumah itu, agak besar sedikit, adalah rumah kediaman mudir (pimpinan) pondok Fiidzilalil Quran.
Saat datang ke pondok, saya tak diberitahu siapa pendiri pondok itu. Sangkaan saya, pasti anak tempatan Kota Belud yang memiliki kesedaran tinggi betapa pentingnya pembelajaran Islam buat warga Muslim dari suku Bajau yang mendiami Kota Belud, karana di Negeri Bayu Bayu itu seperti dimaklumi, kemarau dengan madarasah, khususnya pengajian dengan kaidah pondok pesantren.
Usai shlat Maghrib berjamaah, mudir pondok Fiidzilalil Quran, Ustaz Salahuddin memberikan taklimat ringkas kepada rombongan kami sejumlah lima orang, diketuai Dato’ Haji Nassaruddin Haji Daud (Speaker Dewan Undangan Negeri Kelantan), mengenai sejarah lahirnya pondok Fiidzilalil Quran di dalam kamar pepustakaan dengan menggunakan LCD.
Dari situ baru tahu, rupanya sang mudir, Ustaz Salahudin, berasal dari Pulau Chondong, Kelantan. Sudah lebih 20 tahun bertugas sebagai guru sekolah Kementerian Pelajaran di Sabah. Kemudian ber-rumahtangga dengan pilihan hatinya seorang muslimah Kota Belud.
Pondok Filzilal Quran didirikan di atas tapak tanah milik sang isteri dengan luas kurang lebih 3 hektar.
Bagi orang Indonesia dan Semenanjung Malaysia, khususnya Kelantan, Kedah dan Terangganu, mendirikan pondok pesantren perkara biasa, namun bagi masyarakat Sabah adalah luar biasa. Ustaz Salahudin telah berbuat sesuatu yang luar biasa menurut persepsi orang Sabah. Beliau mengeluarkan dana dari dompet sendiri membangun kompleks pondok lengkap dengan masjid, perpustakaan, dewan belajar dan asrama.
Krana ia masih terikat dengan tugas guru Kementerian Pendidikan, seorang ustaz diambil untuk mengajar ilmu-ilmu Islam di pondok miliknya. Sistem pembelajarannya sama seperti yang diajar di pondok-pondok di negeri Kelantan.
Sejak di buka dua tahun lalu, ramai orangtua warga Sabah ingin menitipkan anak-anak mereka belajar di sini, namun beliau hanya menerima setiap daerah Sabah seorang atau dua pelajar, disebabkan tidak cukupnya asrama dan keuangan. Namun sekiranya pelajar ingin juga belajar di sini, mereka diundang membina sendiri pondok kecil di atas tanah milik isterinya. Terdapat beberapa rumah kecil dibuat dari kayu dibina sendiri oleh pelajar yang berdekatan dengan asrama batu. Sekarang hanya 25 orang pelajar belajar dan tinggal di asrama satu lantai ini.
Seperti dimaklumi, umat Islam Sabah berdepan dengan misionaris Kristen yang sangat aktif mengkristiankan penduduk pribumi Sabah. Kaum misionaris ini mendapat bantuan langsung dari luar negari. Sepanjang jalan, terdapat banyak gereja didirikan, dengan sign-board berukuran besar, walhasil, kawasan itu perkampungan umat Islam. Kabarnya, kampanye ini didanai dari Australia.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Panggilan Hati
Bagi Ustaz Salahudin, umat Islam di Sabah bukan saja kekurangan dana, sebaliknya justru “kemarau dengan ilmu-ilmu Islam”, khususnya berdirinya sebuah pesantren. Di sisi lain, gerakan kelompok agama lain justeru gencar berjalan.
Sejak itu, hati nuraninya terasa terpanggil untuk mendirikan pondok pesantren pertama di daerah Kota Belud. Alhamdulillah, sekarang sudah wujud, biarpun dalam kondisi seadanya.
“Saya mengharapkan, santri yang keluar dari Pondok Fiidzilalil Quran selepas tamat pengajian nanti akan pulang ke kampung masing-masing, seterusnya mendirikan pula pondok, karena itulah saya memilih pelajar mewakili setiap daerah di Sabah” ujarnya.
Malam itu, Dato’ Haji Nassaruddin Haji Daud yang mengetuai rombongan diminta memberi tazkirah dan motivasi kepada pelajar. Sebelum kami kembali, sang mudir menjamu kami sebuah makan malam yang lazat.*/Rossem