“MAU diberi makan apa anak orang?”
Itulah kalimat yang kerap menghantui diri, ketika hendak menyempurnakan separuh agama; menikah. Khawatir, kalau-kalau di kemudian hari tidak mampu menafkahi.
Status sebagai tenaga kontrak, di sebuah lembaga pendidikan swasta, tentu tidak bisa diandalkan. Gajinya tak seberapa.
Untungnya bergaul dengan orang baik kecipratan baiknya juga. Itu yang saya rasakan.
Ketika tengah mencurahkan beban pikiran kepada para senior dan asatidz, tidak sedikit dari mereka membuka ‘tirai’ masa lalu rumah tangga.
Beragam kisahnya. Penuh kelok. Tapi mengerucut kepada satu kesimpulan; selalu ada pertolongan Allah, dalam setiap pernikahan yang diniatkan ibadah.
Tak bisa dilogikakan. Apalagi dikalkulasi dengan rumus-rumus matematis. Nggak nyambung.
Tapi, bisa dirasakan. Baik itu yang berupa imaterial; ketenangan batin. Maupun materil. Dicukupkannya kebutuhan.
Dorongan untuk melanjutkan menikah semakin kuat. Bahkan ada yang sampai memanasi, dengan argumentasi yang menggelitik.
“Kamu itu kayak bukan orang beriman saja. Masa tidak percaya dengan janji-janji Allah?” Ujar seorang sahabat.
Yang dimaksud janji Allah oleh sahabat itu ada dalam al-Qur’an;
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang – orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki – laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.” (An Nur: 32).
Singkat cerita, menikahlah saya dengan seorang Muslimah, yang dikenalkan oleh seorang ustadz.
Kos-kosan
Saya berkhidmat di organisasi yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan. Sudah menjadi kebiasaan dari lembaga kami untuk memindahtugaskan para aktivis, dari satu tempat, ke daerah lain untuk menjalankan tugas.
Maka sebelum menikah, saya coba menggali informasi, adakah tempat tugas baru, selepas pernikahan.
Karena isunya, saya akan dipindah tugas, sebab ada sebuah lokasi dakwah yang sangat membutuhkan bantuan.
Apa mau dikata, keputusan dari atasan masih ngambang. Katanya, masih hendak dimusyawarahkan. Belum ada kejelasan. Bahkan sampai hari pernikahan.
Buah dari keputusan yang berlarut itu, saya belum menyiapkan apa-apa.
Jangankan tempat tinggal (kontrakan/kos), sekadar perabotan seperti piring dan sebagainya saja, masih tidak ada. Karena khawatir. Kalau-kalau sudah kadung ngontrak rumah. Beli ini dan itu. Ternyata tugas pindah. Berabe, kan.
Maka, ketika sudah waktunya kembali ke kampus, saya jadi kelabakan. Mau tinggal di mana saya bersama istri.
Alhamdulillah ada ide. Guest house keluarga. Yah. Kompleks pesantren miliki organisasi tempat saya beraktivitas memiliki beberapa ruang tamu untuk keluarga.
Untuk sementara, tinggal di situ. Sembari mencari tempat yang layak dihuni. Itu yang terbesit di benak. Ketika masih dalam perjalanan menuju pesantren.
Namun ternyata, yang terjadi di luar dugaan.
“Mohon maaf, Mas. Guest house penuh semua,” ujar penanggung jawabnya.
Berdiskusi dengan istri, ternyata dia punya teman yang ngekos tidak jauh dari lembaga tempat saya bernaung.
“Ya sudah. Kalau begitu, adik hubungi dulu teman itu. Malam ini, numpang dulu di situ. Kalau Mas nanti numpang di kamar teman juga,” ujar saya kepada istri.
Saya dan istri sampai di pesantren pas para jamaah selesai shalat isya.
Seturun dari taksi, langsung hendak menghantarkan istri ke kosan temannya. Tapi, secara tetiba ada yang memanggil.
“Mau kemana, Mas?” Ujarnya. Seorang senior di pesantren.
Saya sampaikanlah secara singkat, apa yang tengah saya alami.
“Ini mau mengantar istri ke kosan teman,” kata saya, yang berupaya menahan rasa malu.
“Sudah-sudah, nggak usah. Ke kosan saya saja. Itu ada beberapa yang kosong. Tidur di sana saja!” Tawarnya.
Subhanallah… Wal hamdulillah….
Akhirnya, Allah pun memberi pertolongan-Nya, melalui seorang hamba-Nya. Yang memiliki kos-kosan. Dan bermurah hati juga untuk menampung kami malam itu.
Uang di Rekening
Enam bulan sudah kami menikah. Istri hamil muda. Satu hari, ada kejadian yang mengagetkan.
“Mas, saya sepertinya pendarahan!” Ujar istri.
Dug….!
Bak tersambar petir di siang bolong mendengar berita itu. Tak ada pilihan, harus diperiksakan.
Ke rumah sakit. Oh…, tidak. Mustahil rasanya. Di kantong hanya tersisa Rp 50 ribu. Di rekening kosong. Mana cukup untuk biaya ke rumah sakit.
“Kita ke Puskesmas, dulu aja,” usulku. Istri mengamini.
“Maaf, Pak. Ini harus diperiksa langsung ke Rumah Sakit,” ujar dokter puskesmas tak lama kemudian.
Saya dan istri hanya bisa saling bertatapan mata, mendengarkan rekomendasi dokter itu.
“Bagaimana, ini, Mas?” Ujar istri, ketika sampai di kosan.
Saya sendiri tidak tahu jawabannya. Hendak pinjam ke teman, diselimuti rasa sungkan. Malu. Segan merepotkan orang, untuk urusan pribadi.
“Yaa, Allah, tolong lah hamba-Mu,” ibaku dalam hati.
“Ya sudah. Mas mau keluar dulu,” ujarku kepada istri.
“Ke mana?” Tanyanya.
“Nggak tahu,” jawabku.
Greeeeeeeng…….
Sepeda motor butut saya pacu. Tidak tahu arah. Entah mengapa, ada naluri yang menggiring ke ATM yang tak jauh dari kosan.
Padahal, haqqul yakin, di rekening saya sama sekali tidak ada uang yang bisa ditarik. Tapi entah mengapa, naluri mengarahkan sepeda motor ke sana.
“Siapa tahu, ada pertolongan Allah. Ada yang mengirimkan uang secara diam-diam,” anganku.
Sesampainya di mesin ATM, saya langsung memasukkan kartu. Sengaja saya memilih tarik langsung. Tidak ingin mengecek saldo terlebih dahulu.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Kalau ada uang, mesin akan berbunyi. Kalau tidak mencukupi, akan ada pemberitahuan,” begiti simpulku.
Saya hanya mencoba menarik Rp 100 ribu. Setelah memencet nominal pilihan;
Deeeeeerrrr……
Mesin ATM berbunyi. Alhamdulillah. Tak lama, lembaran merah pun keluar. Saya ambil.
Mata berbinar. Hati bergemuruh kencang. Menyaksikan itu.
Saya cek jumlah saldo. Tersisa Rp 300 ribu. Saya ambil Rp 200 ribu lagi. Ditambah yang Rp 50 ribu. Jadi total Rp 350 di tangan.
Saya langsung pulang ke kosan. Dengan mata berbinar. Hati bergemuruh kencang. Haru. Bahagia. Bercampur aduk.
“Ayo, kita ke rumah sakit,” ujarku ke istri sesampainya di kosan.
“Dari mana uangnya, Mas?” Tanyanya.
“Nggak tahu,” jawabku. Lalu aku ceritakanlah kisahnya.
Akhirnya, saya bisa memeriksakan istri ke rumah sakit. Alhamdulillah biaya mencukupi. Lebih syukur lagi, tidak ada yang membahayakan dengan kandungan istri. Semua normal.
Baca: Jodoh di Bulan Syawal
Sejatinya, masih banyak sekali pertolongan Allah turunkan dalam keluarga kami.
Ini semua, semakin memantapkan bahwa Allah Maha nenepati janji. Seperti kata sahabat saya; Tinggal kita, meyakininya apa tidak.
Maka, menikahlah duhai bujangan yang sudah layak menikah. Enyahkan kekhawatiran. Pupuklah keyakinan, bahwa Allah akan menolong kita, dalam mengendarai bahtera rumah tangga.
Terakhir. Semoga hadits berikut ini semakin menyengat nyali bagi para bujang:
“Ada tiga golongan manusia yang Allah berhak tolong mereka. Yaitu; Mujahid fii sabilillah. Seorang hamba sahaya yang menebus dirinya agar merdeka. Dan seseorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatan diri.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dll).* Sebagaimana dikisahkan Abu Kamila kepada Khairul Hibri