Hidayatullah.com–Siang menjelang sore. Matahari sudah tidak begitu terik di Pangkalan, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat. Seorang lelaki mempercepat langkah. Nafasnya tersengal-sengal. Ia baru saja menempuh perjalanan panjang, meniti pematang sawah yang licin dan berlumpur.
Dialah Boy Lestari Datuk Palindih, da’i kondang di Ranah Minang. Kedatangannya ke sebuah nagari (semacam desa) yang berada di pelosok hutan itu demi memenuhi panggilan hati. Di sebuah surau (mushalla) yang masih berupa bangunan darurat, ratusan jamaah sudah menanti penuh harap.
Sampai di surau, tak terasa air mata Buya Datuk –panggilan akrab Boy—menetes satu-satu. “Allahu Akbar! Saya heran, entah dari ‘bumi’ mana orang sebanyak itu muncul? Sepanjang perjalanan ke kampung terpencil ini, sepertinya hanya ada 12 rumah yang terlihat,” kata Boy dalam hati.
Usut punya usut, rupanya ratusan orang itu berdatangan dari jorong–jorong (dusun) yang cukup jauh. Ada yang berjarak 20 km dari sisi jalan raya Bukittinggi-Pekanbaru, bahkan ada yang sampai 60 km. Mereka datang ke dusun yang letaknya di perbatasan Sumbar-Riau itu dengan berjalan kaki, melalui hutan dan menyeberangi sungai. “Padahal banyak di antaranya yang membawa anak-istri,” kenang da’i yang punya usaha percetakan ini.
Musnah sudah rasa capek yang tadi menyergap tubuh. Berganti dengan perasaan syukur dan kagum atas kegigihan para jamaah. Apalagi ketika dia ingat riwayat pembangunan surau itu, beberapa saat lalu. Semangat jamaah benar-benar tak kenal lelah. Apa saja yang disumbangkan. Ada yang memikul kayu, seng, dan buah kelapa dengan galah. Di antara mereka terdapat ibu-ibu jamaah pengajian yang usianya sudah tua. Orang-orang renta ini tertatih-tatih membawa buntia (karung) yang berisi beras, telur ayam, atau buah kelapa muda. Semua disumbangkan demi lancarnya pembangunan surau.
“Subhanallah! Saya benar-benar tak kuasa menahan air mata. Saya tahu bahwa beras yang mereka sumbangkan berasal dari kumpulan segelas demi gelas sekian lama. Artinya, mereka mengurangi jatah yang akan dimasak untuk keluarga, demi jihad membangun rumah Allah,” kata Boy lagi.
Dipeluk Perampok
Pengalaman seperti di atas makin memacu semangat Boy untuk tampil percaya diri di medan dakwah. Ia tak mau kalah dengan orang-orang dusun yang berjibaku membangun surau itu.
Tak cuma semangatnya yang menyala-nyala. Tampilannya juga dibuat oke, agar menarik. Cukup gampang mengenalinya: memakai sarung, surban, jas, dan kaca mata hitam. “Rasanya kurang afdhal kalau hanya bakupiah (berpeci hitam), kendati mayoritas jamaah masjid di negeri awak ini tidak mengenakan tutup kepala saat shalat,” ujarnya, atau sindirnya.
Akibat seragam kebesarannya itu, banyak orang iseng yang menjulukinya sebagai anggota Laskar Paderi (pasukan Tuanku Imam Bonjol di masa Perang Kemerdekaan). Tetapi ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu, Boy tetap enjoy dengan penampilannya.
Lahan dakwahnya kini makin luas. Tak hanya menerobos nagari-nagari terpencil, tetapi juga menebar rahmat di kantor-kantor, hotel, mall, bahkan penjara. “Mereka semua memerlukan siraman ruhani.”
Kalau di kampung terpencil sering mengeluarkan air mata, di penjara kerapkali menahan nafas di dada. Contohnya ketika harus mengisi ceramah di LP Muaro Padang. Saat itu Buya Datuk baru saja mengisi taushiyah, memimpin zikir, dilanjutkan shalat berjamaah di mushalla penjara. Di luar mushalla, ada dua orang narapidana berwajah seram dan tubuh penuh tato sedang memasang tampang mencurigakan. Biji matanya tajam mengawasi Buya Datuk. “Hati-hati Buya, mungkin ia tersinggung dengan taushiyah yang Anda sampaikan tadi,” ujar sipir penjara yang berjalan di belakangnya.
Buya Datuk tenang saja. Langkahnya tak terganggu dengan tatapan mata menyeramkan dua pria itu. “Apa yang terjadi, terjadilah bila itu sudah kehendak-Nya. Lagi pula taushiyah saya tadi intinya menyeru berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran,” katanya.
Benar saja. Ketika Buya Datuk menginjakkan kaki di halaman mushalla, kedua pria itu langsung menyergap. Bahkan tangan mereka langsung merangkul erat-erat.
Untunglah, sergapan itu bukan untuk menganiaya sang ustadz, tetapi ungkapan haru dua narapidana itu. Mereka kemudian menangis meraung-raung seperti anak kecil. “Saya katakan, jadikan itu sebagai tangis keinsyafan,” ujar pria ramah ini.
Kegiatan dakwah yang digelar di LP Muaro Padang itu memang atas inisiatif Boy Lestari. Sebab ada gejala mengkhawatirkan di LP ini, yaitu kegiatan kristenisasi yang makin lama makin meninggi. Kabarnya sempat ada sebuah ruangan yang dirombak untuk tempat kebaktian. Untung tak jadi.
“Tidak banyak muballigh yang mau menggarap LP. Padahal para penghuninya sangat memerlukan kedatangan kita, sama halnya dengan jamaah yang ada di masjid-masjid megah, plaza, dan pusat-pusat keramaian,” ujar lelaki kelahiran 5 Mei 1958 ini.
Sarjana Surau
Boy Lestari Datuk Palindih lahir dari keluarga yang amat sederhana di Dusun Kapencong Kamang Mudik Kabupaten Agam. Almarhum orangtuanya, Maya Indo Rajo dan Jauhari, hanyalah guru mengaji di dusun. Itupun cuma di malam hari. Siangnya menjadi petani yang hanya mempunyai beberapa petak sawah dan kebun.
Saban hari Boy kecil menjadi murid terdekat kedua orangtuanya. Sarung dan surban adalah pakaian yang tak pernah tanggal dari tubuhnya. “Mungkin karena sudah terbiasa sejak kecil, sampai saat ini saya tetap merasa nyaman memakai pakaian semacam itu. Kemanapun tempat dan siapapun jamaahnya, saya tetap pakai sarung,” ujarnya tampak bangga.
Lulus dari madrasah ibtidaiyah di kampungnya, Boy melanjutkan ke Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Kamang, tak jauh dari kampungnya. Di madrasah ini, pengetahuan agamanya makin mendalam. Ada pelajaran dasar-dasar untuk berdakwah sehingga dia lihai berceramah.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Boy juga seorang kutu buku. Buku-buku milik temannya dilahapnya satu per satu. “Saya tidak mampu membeli, jadi mesti pinjam teman,” begitu pengakuannya.
Buku pinjaman itu tak sekadar dibaca. Hal-hal yang dianggap penting ditulis dengan detail sebelum dikembalikan. Tak jarang, si peminjam malu dibuatnya karena Boy menjadi lebih pintar darinya.
Boy berhasil lulus dari MTI dengan mendapat nilai terbaik. Sayang, cuma sampai itu saja. Hasrat hati ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, namun apa daya terkendala ekonomi.
Boy tak patah arang. Ia berguru kepada ustadz-ustadz dari surau satu ke surau lainnya. Waktu itu sambil jualan kue, dan dia banyak mangkal di depan Bioskop Ery di Bukittinggi. “Jadi saya ini sarjana, tetapi sarjana surau,” ujarnya sambil tertawa. Beberapa saat kemudian Boy mengadu nasib ke kota Padang. Bukan menjadi juragan kue, tetapi akhirnya menjadi muballigh.
Saat ini masyarakat mengenalnya sebagai da’i yang bisa masuk semua lapisan masyarakat. Mulai dari penduduk di dusun terpencil, hajatan khitanan, hotel berbintang, penjara, sampai mengisi siraman ruhani bila ada kunjungan pejabat dari pusat (Jakarta).
Saat mengisi taushiyah di Pangkalan seperti terkisah di atas, sebenarnya dalam waktu yang sama Boy juga dapat undangan ceramah hotel berbintang di Padang. “Tetapi saya memilih masuk hutan. Tempat-tempat di kota sudah terlalu banyak muballighnya,” begitu alasannya.
Apalagi, pengajian di hotel berbintang seringkali tersusupi maksud-maksud tersembunyi. Misalnya untuk ajang kampanye capres-cawapres yang kini sedang hangat. “Nanti bisa berubah jadi Pengajian atau Dzikir Politik. Lebih baik masuk hutan saja,” paparnya sambil tersenyum.* [dod/sahid/hidayatullah.com]
Kirimkan kisah perjalan ruhani Anda ke redaksi hidayatullah.com. Setiap kisah Anda akan bermanfaat bagi umat