GAR ITB melaporkan Din Syamsudin ke pihak berwewenang. Mantan Ketua Muhammadiyah itu dianggap melanggar kode etik Aparat Sipil Negara (ASN) karena dianggap anti pemerintah yang sekarang. Benarkah begitu?
Hidayatullah.com–Pertengahan tahun lalu majalah Suara Hidayatullah menurunkan wawancara panjang dengan penggagas KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) ini. Berikut kutipannya:
Belakangan ini, beberapa pihak yang mengkritisi pemerintah seringkali dibungkam. Menurut Din Syamsuddin, hal itu menunjukkan sikap anti demokrasi.
“Masak mengkritik pejabat negara dianggap mencemarkan nama baik. Pejabat itu subjek untuk dikoreksi dan diawasi. Kalau nggak mau, ya jangan menjadi pejabat publik,” tegasnya.
Pelopor Gerakan Menegakkan Kedaulatan Negara (GMKN) ini mengatakan, rezim yang seperti itu tidak bisa dibiarkan karena bisa melahirkan kediktatoran.
“Tapi saya yakin, di masa sekarang, kediktatoran seperti itu tidak akan bisa berkembang karena kebenaran akan tetap tegak.”
Din memaklumi, persoalan itu terjadi karena produk dari hasil sistem yang keliru. “Meski di DPR ada kekuatan, sementara kita tahu bagaimana proses keterpilihan itu. Ini yang mungkin bisa dipandang sebagai lingkaran setan. Kalau sudah seperti itu untuk mengubahnya tidak mudah. Seperti ayam dan telur.”
Lantas, apa yang harus kita lakukan?
Tidak boleh kehilangan harapan. Terus-menerus melakukan langkah-langkah. Saya pribadi sebagai Muslim meniatkannya sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Ya memang agak capek, tetapi jangan merasa capek.
Saya berpegang bahwa kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir. Maka mari mengorganisasikan diri (baca: kebenaran). Memang ini tidak mudah.
Sikap saya loyal kritis. Loyal kepada bangsa serta negara. Termasuk kepada pemerintah yang sah; hasil pemilu demokratis berdasarkan konstitusi. Tapi kritis sebagai warga negara, apalagi punya ilmu. Masak ilmu pengetahuan yang kita miliki tidak dijelmakan untuk tetap kritis terhadap keadaan, apalagi diberi amanah. Apa yang saya lakukan sebagai upaya loyal kritis serta amar ma’ruf nahi munkar.
Anda pernah mengatakan bahwa presiden dalam cengkeraman oligarki dan kleptokrasi. Apa indikasinya?
Bisa dibuktikan. Ada pernyataan, tentu ada alasan. Tapi ini tidak untuk konsumsi publik. Bukan saya sendiri (yang mengatakan), tapi banyak orang. Bahkan ada yang lebih awal mengatakan itu. Misalnya istilah petugas partai, berarti ia sebagai petugas, maka ada yang menugasi. Dari situ sudah kentara.
Sebagai pengamat politik dan bidang saya juga ilmu politik, bisa lihat bagaimana pernyataan kebijakan presiden begini, lalu kebijakan menterinya begitu, dan bagaimana yang terjadi di lapangan?
Kita memerlukan kaum terdidik dari bangsa ini, khususnya mahasiswa intelektual untuk menjadi orang yang menjalankan amanah dengan hati nurani. Ini bukan soal like and dislike (suka atau tidak suka). Saya menyebutnya sebagai kemunkaran yang terorganisir, sebab sudah masuk dalam struktur negara. Tolok ukurnya adalah konstitusi (UUD 1945) dan Pancasila. Itu kesepakatan kita dalam berbangsa dan bernegara. Maka, marilah kita tegakkan Pancasila dan konstitusi.
Untuk lepas dari oligarki dan kleptokrasi rasanya sulit, karena biaya pemilu kita sangatlah mahal. Siapapun yang terpilih akan tersandera kepentingan. Menurut Anda?
Harus ada perubahan dari atas. Pemimpin kita harus memiliki kearifan, kesadaran, kenegarawanan, dan bertolak pada komitmen dan visi terhadap negara Pancasila. Kalau dia (mau) melaksanakan, pasti bisa. Itu tanggung jawab kesejarahannya. Tetapi kalau membiarkan oligarki dan kleptokrasi merajalela, mohon maaf, dalam partai politik hampir tidak ada demokrasi. Indonesia itu mengalami kebangkrutan demokrasi. Bukan sekadar devisit demokrasi.
Bagaimana jalan keluarnya?
Pertama, harus ada kesadaran dari lingkungan partai politik itu sendiri, untuk mengamalkan demokrasi dalam dirinya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kedua, Indonesia memerlukan perubahan dari dalam. Dari para pemangku amanah sendiri. Kalau tidak bisa berubah dari dalam, bahkan semakin melonjak, semena-mena, semakin menunjukkan kediktatorannya, maka perlu adanya perubahan dari luar. Namanya revolusi.
Tetapi saya tidak setuju, karena cost (biaya)-nya mahal bagi Indonesia. Saya masih optimis dengan langkah-langkah konstitusional, tapi sangat tergantung kepada para pemegang amanah. Apakah mereka ingat atau tidak jika amanah itu dari Allah SWT yang akan dimintai pertanggungjawaban? Apakah juga bersedia melakukan perubahan dengan satu kesadaran, keikhlasan, kejernihan pikiran dan hati demi bangsa dan negara? Namun kalau tidak, mereka memanipulasi. Lain laku dan ucapan, waduh…, di dalam al-Qur’an itu berarti satu kehinaan atau siksa besar dari Allah.
Apa bahaya terbesar ketika oligarki dan kleptokrasi tidak segera diatasi?
Akan menjarah aset negara. Ketika kleptokrasi berselingkuh dengan oligarki dan punya kemudahan dalam pengambilan keputusan hal-hal strategis, yang sangat berorientasi pada kepentingan mereka, maka sumber daya alam Indonesia akan “terjarahkan”, bukan buat kepentingan rakyat. Lingkaran setan ini harus segera kita putus mata rantainya.*