Hidayatullah.com–Sambungan wawancara kedua. Sebelumnya ia mengatakan, perkembangan liberalisasi di Indonesia itu mendorong saya melakukan penelitian lebih jauh. Saat menyusun thesis S2 (2007), masih di Al Azhar, saya mengkaji secara kritis Hermeneutika yang diusung sebagai metode tafsir oleh kalangan liberal.
Tema-tema yang mereka usung sepertinya sesuai dengan apa yang berkembang di Barat. Apakah mereka punya agenda yang sama?
Ya memang begitu. Munculnya kelompok umat Islam yang kemudian mereka tuduh radikal dan fundamentalis ini hasil rekayasa Barat. Mereka sengaja menciptakan suatu kondisi masyarakat agar muncul radikalisme. Rekayasa itu mereka lakukan untuk memunculkan antitesa. Jadi radikalisme dan fundamentalis itu sengaja mereka munculnya untuk alasan pembenaran liberalisme, sekulerisme, pluralisme dan humanisme. Mereka seakan berkata, “ini lo, dari pada kamu jadi radikal dan fundamentalis, lebih baik kamu jadi pluralis dan humanis.” Jadi semua itu by setting.
Itu artinya mereka dimanfaatkan oleh Barat, begitu?
Ya mereka menjadi agen yang dicangkokkan ke dalam tubuh umat Islam untuk menjinakkan umat Islam. Cara menjinakkannya, dengan menyemaikan konsep-konsep Barat ke dalam tubuh kaum muslimin.
Tentu mereka tahu pasti posisi Anda dan kawan-kawan terhadap proyek liberalisme Islam yang mereka lakukan…
Pasti tahu. Mereka sudah membaca tulisan-tulisan saya, baik buku maupun artikel di media massa. Ulil sendiri pernah minta langsung buku saya berjudul Tafsir Sesat. Jadi saya pikir mereka sudah tahu penilaian kita terhadap mereka. Bahwa mereka telah menjadi penyambung lidah kepentingan asing, khususnya kepentingan liberalisasi Islam.
Bagaimana respon mereka?
Saya tidak tahu, karena mereka tidak pernah menyampaikan langsung kepada saya. Tidak tahu jika mereka menyampaikan kepada orang lain. Sebab, ada mahasiswa yang cerita kepada saya bahwa buku saya menjadi salah satu buku yang harus di review mahasiswa pasca sarjana di UIN Jakarta dan Yogyakarta. Saya bersyukur terhadap itu, karena dengan begitu ada keseimbangan referensi dalam studi al-Qur’an. Jika sekarang ini, di perguruan tinggi Islam sedang terjadi liberalisasi al-Qur`an, buku saya justru mengritik pendekatan yang sedang mereka lakukan itu.
Salah satu pintu liberalisasi Islam adalah lewat pintu maqasid syariah. Apa pendapat Anda?
Inti dari liberalisme Islam adalah mengambil subtansinya dan mencampakkan bentuk formalnya. Dari Islam mereka hanya mau semangat dan etiknya saja. Mereka tidak mau terikat kepada bentuk formalnya berupa syariah.
Maqasid syariah sebenarnya bertujuan melindungi agama dari penyimpangan dan perusakan. Tetapi itu mereka balik: maqasid syariah bertujuan melindungi kebebasan beragama, melindungi perbedaan penafsiran dan melindungi aliran-aliran sesat.
Mereka juga menggunakan isu-isu kemanusiaan untuk menggantikan syariah. Mereka menggunakan pluralisme agama untuk menggantikan konsep toleransi dalam Islam.
Menurut mereka, kita tidak cukup toleran saja atau membiarkan orang lain beribadah dan berbeda, tapi harus lebih dari itu. Kita juga harus mengakui bahwa mereka juga benar agar kita rukun.
Nah, yang seperti itu sudah melanggar akidah. Toleransi itu tidak sampai membenarkan akidah di luar Islam.
Intinya, mereka ingin umat Islam menjustifikasi nilai-nilai Barat untuk diterapkan di Indonesia. Jadi Barat mendevinisikan dan menerapkan nilai-nilai Islam yang sesuai dengan kepentingan mereka.
Dalam Islam dikenal ada tajdid atau pembaharuan. Bukankah yang dilakukan mereka itu termasuk pembaharuan?
Bukan. Yang mereka lakukan adalah liberalisasi dan sekulerisasi teks. Tajdid dalam pengertian Islam artinya menampakkan sesuatu yang sudah lama terkubur menjadi hidup, baik dan baru sehingga menyadarkan umat tentang nilai-nilai yang asli. Memperbaharui agama itu artinya memperbaruhi semangat keberagamaan, memperbaruhi pemikiran yang sebelumnya ditinggalkan atau tertutupi.
Contohnya..
Contohnya tentang posisi dan status al-Quran. Sebagian ada yang memandang al-Qur`an itu sesuatu yang keramat sehingga harus disimpan sedemikian rupa. Sementara pihak lain memandang al-Qur`an sebagai kitab suci yang harus diamalkan. Lalu ada orang yang melakukan tajdid, yaitu menempatkan al-Qur`an sebagai sesuatu yang sakral, tetapi ia kemudian memperbaharui semangat umat untuk mengamalkan isinya dalam kehidupan sehari-hari.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Yang dilakukan kaum liberal sebaliknya. Membuat sesuatu yang pasti dan permanen menjadi sesuatu yang terus berubah mengikuti sejarah dan budaya manusia. Jadi teks-teks qath’i (pasti) mereka turunkan derajadnya menjadi zhanni (relatif). Teks-teks yang sudah pasti, mereka otak-atik lagi menjadi tidak pasti. Hasilnya, hukum-hukum yang sudah pasti berubah menjadi tidak pasti. Selanjutnya begitu terus. Padahal ada kaidah yang berlaku: tidak boleh ada ijtihad perkara hukum yang sudah ada nashnya. Kaum liberal melanggar itu semua.
Bagaimana agar Islam sesuai dengan perkembangan zaman?
Islam bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman dengan melakukan tajdid. Tetapi tajdid itu ada batasannya. Seperti saya bilang di atas, sesuatu yang sudah pasti atau final tak boleh diubah-ubah lagi. Misalnya, dengan alasan perkembangan zaman lalu menghalalkan bunga bang. Dengan alasan kesibukan lalu memangkas jumlah rakaat dalam shalat. Dengan alasan perempuan sekarang sudah terdidik, lantas memberi bagian waris sama dengan laki-laki. Dengan alasan kebebasan, lalu membolehkan perempuan tidak berjilbab. Itu ijtihad yang keliru. Tamat.*