22 SEPTEMBER 2006, dini hari, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu menjalani eksekusi mati di Poso, Provinsi Sulawesi Tengah di hadapan regu tembak dari kesatuan Brimob Polda setempat. Mereka menjalani eksekusi mati secara serentak selama kurang dari lima menit mulai pukul 01:10 WITA di sebuah tempat yang masih dirahasiakan di pinggiran selatan Kota Palu. Tibo CS, mengingatkan kasus kerusuhan di Poso Sulawesi Tengah tahun 1999 yang menelan korban pihak Muslim dan Kristen dengan jumlah yang tidak sedikit.
Luka lama yang berumur tidak kurang 14 tahun itu kini mulai muncul kembali seiring berbagai tuduhan miring yang muncul, termasuk tuduhan “teroris”.
Hari Ahad, (14/04/2013), hidayatullah.com mewawancarai tokoh umat dari Poso, Adnan Abdul Rahman Saleh yang juga Ketua Forum Silaturrahmi Umat Islam Poso.
Adnan kebetulan berada di Jakarta guna menghadiri acara diskusi bertopik “Memberantas Terorisme Tanpa Teror & Melanggar HAM” di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng Jakarta Pusat, hari Kamis (11/4/2013).
Ustad Adnan Arsal, demikian ia akrab disapa menceritakan panjang lebar duka mendalam warga Sulawesi Tengah yang menurutnya kini difitnah dengan isu “terorisme”.
“Fitnah teroris yang telah menciptakan ketakutan baru di Poso,“ apa maksudnya? Inilai petikan wawancara pria dengan kelahiran 11 Desember 1967 yang akan dimuat selama empat seri.
***
Apa yang dirasakan warga Poso sejak isu terorisme meledak?
Inilah yang menjadi keresahan umat Islam di Poso. Mengapa tuduhan terorisme ini tidak habis-habis untuk kami? Kami sering bertanya di mana sumber Mabes Polri yang sering mengeluarkan nama-nama Daftar Pencarian Orang (DPO). Ini meresahkan kami, karena dengan adanya DPO-DPO ini seperti pintu untuk melegalkan aparat boleh menangkap tau menyiksa umat Islam di Poso seenaknya.
Isu terorisme di Poso telah membuahkan banyak kasus di mana Densus boleh menembak di tempat bagi orang-orang yang baru diduga pelaku tindak pidana “teroris”. Padahal mereka belum diselidiki, belum bisa dibuktikan bahwa mereka itu pelaku. Tahu-tahu aktivis dakwah ini sudah ditangkap, dikabarkan disiksa bahkan ada yang dibunuh. Inilah hal yang meresahkan kami umat Islam di Poso. Kalau begini caranya, apa artinya bangsa ini sebagai negara hukum?
Bagaimana perasaan umat Islam Poso terhadap stigma teroris yang diberikan kepada umat Islam Poso?
Inilah merupakan tuduhan yang saya anggap sebuah makar pihak penguasa. Para penguasa ini seharusnya melihat latar belakang sejarah mengapa konflik SARA di Poso itu terjadi. Konflik SARA yang terjadi di Poso ini sebenarnya posisi umat Islam justru berada pada pihak yang di dzalimi.
Kita harus lihat masalah Poso itu dari saat awal terjadinya konflik sepuluh tahun yang lalu. Saat itu Konflik SARA di Poso berawal hanya masalah pertengkaran anak muda karena minuman keras. Umat agama lain terlalu berlebihan dalam menyikapi masalah pertengkaran anak muda tersebut. Hanya karena anak muda berkelahi karena minuman keras, umat agama lain mengorganisir serangan ke masyarakat Islam.
Mereka mendatangi kota-kota mayoritas Muslim, dan menyerang sapa saja, termasuk anak-anak sampai orangtua. Dari situlah muncul peristiwa bersejarah yang sering disebut ‘pembantaian kaum Muslim Poso’. Entah mengapa mereka memiliki senjata api dan mengapa pula hal itu didiamkan oleh pihak aparat.
Dari kasus inilah akhirnya muncul reaksi dari umat Islam dengan cara menyerang balik.
Lantas apa yang terjadi?
Ketika kekuatan umat Islam sudah terorganisir dan sangat siap melakukan serangan balik, umat agama lain justru mengadu ke aparat seakan mereka yang di dzalimi. Aparat yang sebelumnya mendiamkan ketika umat agama lain melakukan kekerasan terhadap umat Islam, justru langsung melindungi ketika mereka terdesak. Sungguh aneh, ketika umat agama lain terdesak, justru umat Islam distigmakan “teroris”.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Bagaimana dengan tuduhan adanya “teroris” di Poso?
Ini tidak benar, tidak ada “teroris” di Poso. Kala itu, umat Islam hanya bertahan dari serangan umat agama lain. Muslim Poso tentu tidak bisa diam melihat keluargany, orang tua dan anak-anaknya dibunuhi dan perempuannya diperkosa. Bahkan di sana juga terjadi pelanggaran hak asasi oleh aparat.
Kami jelas tidak terima umat Islam Poso dituduh teroris. Apalagi dikait-kaitkan dengan bom Bali dan gerakan-gerakan pengeboman di Indonesia. Ini jelas mengada-ngada. Poso itu murni konflik sosial yang berubah jadi konflik SARA karena adanya provokasi agama tertentu terlebih dahulu.
Kalau kita mau melihat perilaku “teroris”, justru kaum Muslim diperlakukan secara brutal. Tapi kedzaliman kaum Muslim didiamkan bahkan umat Islam Poso diusir dan dipaksa mengungsi.
Sejak peristiwa konflik Poso pertama, banyak warga Poso mengungsi keluar karena ketakutan. Sementara kaum Muslim yang membela diri dan melindungi keluarganya, justru mendapat stigma negative. Jika tiak kaum Muslim sendiri yang melindungi, siapa lagi yang bisa melindungi diri mereka sendiri?*