Hidayatullah.com—Mencuatnya kasus Sumiati. Tenaga Kerja Wanita (TKW) Sumiati (23 tahun), tenaga kerja wanita asal Nusa Tenggara, dianiaya majikannya di Arab Saudi mencuri perhatian seluruh masyarakat. Banyak orang marah atas peristiwa ini. Meski demikian, sesungguhnya, kasus serupa juga sering terjadi, tak hanya di Saudi semata, bahkan beberapa kejadian yang menimpa TKW kita di Malaysia, Hong Kong dan beberapa Negara lain. Mengapa sering seperti ini? Bagaimana pembelaan perintah kita?
Untuk itu, hidayatullah.com mewawancarai Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care. Inilah petikannya.
Kasus-kasus yang menimpa para TKI di luar negeri tak kunjung selesai. Menurut Anda, apa yang menjadi pangkal masalahnya?
Setidaknya saya melihat beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Saya melihat selama ini ada pembiaran yang dilakukan pemerintah. Pemerintah tak serius menangani permasalahan para TKI di berbagai negara. Permasalahan TKI dari tahun ke tahun tidak ada perubahan.
Selain itu, saya melihat tindakan pemerintah dalam merespon persoalan TKI itu lebih bersikap reaktif, yakni penyelesaiannya selalu dengan cara ad hoc. Misalnya di Yordania ada ratusan TKI yang tak berdokumen atau ilegal, maka solusinya pemulangan. Atau di Malaysia ada 800 ribu orang dideportasi, maka solusinya pembangunan tempat penampungan. Pemerintah tak pernah membangun kebijakan yang holistik.
Menurut analisa Anda, mengapa pemerintah bersikap seperti itu?
Pemerintah kerap memandang pengiriman TKI hanya dari sisi keuntungan ekonomi yang diraih. Selama ini memang mindset (pola pikir) pemerintah adalah ekonomi. Maka, kebijakan-kebijakan yang dilahirkan pun fokusnya pada peningkatan ekonomi. Seperti bagaimana cara menggenjot angka penempatan para TKI, sehingga devisa meningkat.
Tetapi persoalan-persoalan yang selama ini terjadi, secara sistematis diabaikan. Seperti pemalsuan dokumen TKI yang dilakukan PJTKI. Tentu tak ada pemalsuaan dokumen bila instansi di Indonesia yang mengeluarkan dokumen TKI melakukan pengawasan ketat.
Apakah Anda melihat indikasi kongkalikong antara PJTKI dengan instansi pemerintah?
Ya. Sepertinya memang ada kongkalikong. Pengiriman TKI merupakan bisnis menggiurkan. Saya kira hasil bisnis yang diperoleh PJTKI ini mengalir juga ke kantor-kantor pemerintah.
Di Indonesia itu ada 14 instansi yang memiliki otoritas, fungsi dan kewenangan untuk terlibat dalam pengiriman TKI. Untuk pergi ke Hongkong, TKI harus menggeluarkan uang sekitar Rp. 16 juta. Gaji mereka dipotong hingga 7 bulan.
Taiwan lebih parah. Mereka yang bekerja di sana harus rela dipotong 16 bulan gaji. Enam bulan pertama dipotong 100%., kemudian masuk bulan ke 7 hingga 10 dipotong 50 persen. Bulan selanjutnya dipotong 40-20 persen. Masuk bulan ke 17 para TKI menerima gajinya secara utuh.
Saya memperkirakan PJTKI bisa meraup untung bersih hingga mencapai Rp. 15 juta per-TKI yang diberangkatkan. Keuntungan bisa lebih dari 15 juta bila memberangkatkan ke negara-negara tertentu, seperti Hong Kong.
Selain pemalsuan dokumen, pelanggaran apa saja yang kerap dilakukan PJTKI?
Ada beberapa syarat untuk menjadi TKI. Salah satunya terkait peningkatan kualitas. Para calon TKI mesti mengikuti pendidikan atau pelatihan sebelum keberangkatan. Pendidikan yang menyangkut peningkatan skill, pengetahuan hukum, pengetahuan hak-hak sebagai TKI. Selama ini kami melihat PJTKI memberikannya kepada calon TKI secara formalitas, untuk memenuhi kualifikasi yang ditetapkan Kemenakertrans.
Di bandara, kami pernah mewawancarai sejumlah calon TKI yang akan berangkat, apakah mereka mendapatkan keterampilan (dari PJTKI)? Dari penuturan mereka, sebagian besar menjawab tidak. Delapan puluh lima persen TKI yang berangkat ke luar negeri tidak mengikuti persiapan peningkatan kualitas.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Bagaimana dengan batas pendidikan minimal bagi para calon TKI?
Dalam UU Nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI, lulusan SD tidak menjadi persoalan untuk menjadi TKI. TKI yang lulusan SD ke bawah lebih dari 50% jumlahnya. Dengan pendidikan rendah ini, jangan heran bila para TKI lebih banyak bekerja pada sektor informal atau menjadi pembantu rumah tangga..
Dengan kualitas minim dan pendidikan yang rendah apakah pengiriman TKI ini bisa disamakan perdagangan manusia?
Ya. Saya kira ini sindikat perdagangan manusia. Para agen menjanjikan mimpi-mimpi yang indah di negara orang, tanpa melengkapi mereka dengan keterampilan, kualitas kerja, kelengkapan dan keaslian dokumen. Janji-janjinya adalah gaji tinggi, kerja tidak berat, seperti menjadi pelayanan di toko maupun restauran.
Indonesia memiliki UU Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. UU ini bisa menjerat praktik-praktik perdagangan manusia atas nama pengiriman TKI. Celakanya penegakkan hukum di Indonesia sangat lemah. Pemerintah tak tegas menindak PJTKI yang kerap melakukan pelanggaran-pelanggaran seperti pemalsuan dokumen maupun tidak memberikan pelatihan bagi para calon TKI. [syaf/hid/hidayatullah.com]