Hidayatullah.com— Aliansi Cinta Keluarga (AILA) telah merilis pernyataan sikap dan kritik terkait Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) terbaru. AILA juga menyerukan revisi atas Permendikbud tersebut, yang disebut mengadopsi draf lama bermasalah RUU PKS.
“Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021 nampak mengadopsi draft lama Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang sudah ditolak oleh masyarakat luas dan DPR pada periode 2014-2019,” ungkap AILA dalam salah satu poin pernyataannya.
Pemerintah melalui Mendikbud Ristek Nadiem Makarim telah menerbitkan peraturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Permendikbud no 30 tahun 2021 yang ditandatangani Mendikbud pada tanggal 31 Agustus 2021 bertujuan sebagai pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma.
Kontroversi penolakan RUU P-KS di DPR periode 2014-2019, ujar AILA, diantaranya karena RUU ini dianggap bertentangan dengan landasan moralitas Bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila, terutama Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kemanusiaan yang Adil dan beradab.
“Dikarenakan mengadopsi draf lama RUU P-KS, maka landasan filosofi dari Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021 juga dibangun diatas paradigma sexual-consent.”
Paradigma consent ini, papar AILA, menganggap batasan aktivitas seksual yang dianggap salah ialah apabila aktivitas tersebut tidak diiringi dengan persetujuan dari pelaku. Padahal, menurut AILA, banyak dari kasus kejahatan seksual yang terjadi di lapangan berupa aktivitas yang telah melibatkan persetujuan dari pelaku, namun persetujuan tersebut bertentangan dengan landasan moralitas bangsa Indonesia.
“Sebagai contoh aktivitas perzinahan yang diiringi dengan konsen, persetujuan untuk membuat konten video porno, persetujuan berhubungan sesama jenis, dll. Lebih jauh, praktik Zina dan LGBT -meskipun dibangun diatas konsen- tetap merupakan salah satu sebab utama maraknya tindak kekerasan terhadap perempuan maupun anak-anak,” papar AILA.
AILA juga menyebut definisi Kekerasan Seksual dalam Permendikbud no 30 tahun 2021 tersebut, terkhusus Pasal 1, jelas mengacu pada perspektif Feminis Radikal. Kalangan feminis radikal sendiri, ungkap AILA, sebenarnya memiliki posisi yang meyakini bahwa keberadaan sexual-consent saja tidak cukup untuk mengatasi kekerasan seksual.
“Maka mereka merasa perlu mengembangkan terminologi-terminologi khas seperti relasi kuasa dan relasi gender dengan tujuan membongkar struktur kuasa di dalam masyarakat yang dinilai mereka melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. Padahal terminologi-terminologi tersebut tidaklah netral tetapi berakar dari pemikiran Marxisme yang cenderung antipati terhadap nilai-nilai agama.”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
AILA juga mengkritisi penjelasan pada Pasat 1 ayat 1 Permendikbud, yang menurutnya berpotensi mengkriminalisasi dosen, mahasiswa, dan civitas akademika secara umum yang tidak setuju dengan perilaku LGBT atau mereka yang ingin menyembuhkan para pelaku LGBT.
“Padahal jika dikembalikan kepada landasan moralitas bangsa, yang bersumber dari Pancasila, terutama Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kemanusiaan yang Adil dan beradab maka kecenderungan LGBT bukan untuk direkognisi tetapi justru dibantu untuk diupayakan kesembuhannya dengan cara yang hikmah,” ungkap AILA.*