Hidayatullah.com- Sistem pendidikan nasional, kata Sekretaris Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, Muhammad Fuad Nasar, tidak boleh mengabaikan Pendidikan Agama dalam peta jalan maupun standar kurikulumnya. Hal ini disampaikan terkait Hari Pendidikan Nasional yang diperingati pada Ahad (02/05/2021).
Ia mengatakan, bangsa Indonesia perlu melestarikan jiwa dan semangat Hari Pendidikan Nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan berkaitan dengan penanaman watak, karakter, dan penghayatan sistem nilai, bukan sekadar transmisi pengetahuan dan keterampilan semata. Dunia pendidikan harus dikelola dengan baik, bukan sekadar untuk melayani kebutuhan pasar, melainkan untuk masa depan bangsa, negara, dan kemanusiaan dalam pengertian luas.
Ia menambahkan, sejalan dengan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, negara melalui peran pemerintah punya tanggung jawab memfasilitasi dan mengelola kebijakan publik di bidang pendidikan. Dunia pendidikan memiliki ruh, filosofi, dan nilai-nilai yang inheren dengan tujuan bernegara dan ideologi nasional. Pemerintah dan segenap unsur masyarakat harus membangun pendidikan Indonesia yang berbeda dari sekadar pendidikan di Indonesia
“Kemajuan bangsa tidak terlepas dari peran dunia pendidikan. Generasi terpelajar adalah produk dari pendidikan yang terbentang sejak dari rahim ibu, pendidikan dalam keluarga, pendidikan di sekolah dan di tengah masyarakat,” ujarnya.
Dalam perspektif Islam, masih kata Fuad Nasar, tujuan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari tujuan hidup manusia sebagai makhluk ciptaan Allah dan khalifah-Nya di bumi.
Untuk itu pendidikan manusia seutuhnya mensenyawakan dimensi jasmani, rohani, akal, dan akhlak dalam diri manusia. Pendidikan, katanya, dianggap gagal jika keluaran (ouput) yang dihasilkan ialah sumber daya manusia yang sekadar pintar dan menguasai teknologi, tetapi tuna moral, tidak memiliki rasa peduli, dan tidak memiliki empati terhadap sesama. Dalam istilah yang sering diucapkan oleh Prof. Dr. B.J. Habibie yang dikutipnya, perlu keseimbangan antara penguasaan “Iptek dan Imtak”, ilmu pengetahuan-teknologi dan iman-takwa.
“Saya terkesan dengan motto pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor yang merefleksikan konsepsi pendidikan manusia seutuhnya seperti dikehendaki dalam Islam, yaitu: “Berbudi Tinggi, Berbadan Sehat, Berpengetahuan Luas, Berpikiran Bebas”. Kata berbudi tinggi sengaja disebut di depan. Bahwa fisik yang sehat dan kuat, ilmu pengatahuan yang luas dan kebebasan berpikir, akan memberi manfaat jika berada di atas pangkuan budi pekerti yang tinggi atau akhlakul karimah,” sebutnya.
Sejarah mencatat betapa dunia pendidikan terus mengalami perkembangan, evolusi bahkan disrupsi seiring dengan perubahan masyarakat. Dunia pendidikan harus tanggap terhadap perubahan zaman, namun, katanya, tidak boleh terjebak dalam pragmatisme pasar sehingga meninggalkan dasar-dasar fundamental pendidikan itu sendiri.
“Sistem pendidikan nasional dibangun di atas landasan ideologi Pancasila dan way of life sebagai bangsa religius. Dengan demikian, misi pendidikan untuk melahirkan manusia dan warga negara merdeka dengan tanggung jawab kemanusiaan yang disandangnya harus terjaga selamanya. Bangsa ini harus memiliki budaya dan perilaku menghargai ilmu dan tanggung jawab intelektual. Sistem pendidikan nasional tidak boleh mengabaikan Pendidikan Agama dalam peta jalan maupun standar kurikulumnya,” ujarnya.
Dalam kaitan ini, Fuad Nasar mengajak publik untuk merenungkan pesan Bapak Bangsa, Dr. Mohammad Hatta pada Hari Alumni I Universitas Indonesia tanggal 11 Juni 1957 berjudul “Tanggung Jawab Moril Kaum Inteligensia” yang dikutipnya sebagai berikut:
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Pangkal segala pendidikan karakter ialah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar. Kurang kecerdasan dapat diisi, kurang karakter sukar memenuhinya, seperti ternyata dengan berbagai bukti di dalam sejarah. Ilmu dapat dipelajari oleh segala orang yang cerdas dan tajam otaknya, akan tetapi manusia yang berkarakter tidak diperoleh dengan begitu saja. Saya ingin melihat kaum inteligensia Indonesia menunjukkan tanggung jawab morilnya terhadap usaha-usaha pembangunan negara dan masyarakat kita, dengan berpedoman kepada cinta akan kebenaran, yang menjadi sifat bagi orang berilmu.”
Ia menambahkan, seorang intelektual sejati tetap konsisten mengamalkan ilmunya dan bekerja demi bangsa, bukan sekadar mengatas-namakan bangsa. Seorang intelektual sejati yang mencintai bangsa dan bertakwa kepada Tuhan menurut ajaran agamanya takkan sudi mengkhianati ilmunya dan mengkhianati bangsanya.
“Sejalan dengan itu, dalam ucapan selamat kepada keluarga, saudara, sahabat, dan sejawat yang menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi selalu kita ucapkan doa, semoga ilmunya bermanfaat. Bermanfaat bagi siapa, ialah bermanfaat untuk sesama manusia,” pungkasnya.*