Yayasan Muthahhari
Selain IJABI, lembaga lain yang tidak bisa dipisahkan dari kehadiran Jalaluddin Rakhmat adalah Yayasan Muthahhari. Dibawah asuhan Jalal, yayasan ini sudah lebih dulu berdiri di Bandung, jauh sebelum IJABI dideklarasikan. Yayasan ini mengelola sejumlah satuan pendidikan umum tingkat dasar hingga menengah atas.
Kekaguman Jalaluddin Rakhmat dengan Murthadha Muthahhari, seorang ulama Syi’ah menjadikan dia mendirikan Yayasan Muthahhari. Dalam buku JALALUDDIN RAKHMAT, Catatan Kang Jalal; Visi Media, Politik, Dan Pendidikan, Remaja Rosdakarya Bandung), ia menyebutkan Muthahhari seorang pemikir Syi’ah yang dianggap terbuka, membuat memakai nama yayasannya Muthahhari. “Itu karena tiga pertimbangan. Pertama, Muthahhari itu seorang pemikir Syi’ah yang sangat non-sektarian, yang sangat terbuka,” katanya.
Sebagian masyarakat, bahkan sudah mempersepsikannya sebagai lembaga pendidikan Syiah, meski IJABI belum berdiri. Pasalnya, Jalal sang pengasuh, lebih dulu dikenal sebagai tokoh Syiah Indonesia, kendatipun (saat itu) belum menyatakannya secara terbuka. Ketika IJABI resmi berdiri tahun 2000, maka jati diri Syiah di Indonesia semakin jelas.
SMA Plus Muthahhari Bandung didirikan Kang Jalal pada 1 Juli 1992. Di lembaga ini, Kang Jalal pernah menjalankan tugas sebagai kepala sekolah.
Melalui IJABI dan Muthahhari, Jalaluddin Rakhmat berusaha melakukan sosialisasi pemikiran Syiah. Sosialisasi inilah yang disebut Miftah F. Rakhmat dengan istilah ‘memperkenalkan khasanah yang hilang’.
“IJABI tidak bertujuan merubah keyakinan orang dan mengajaknya untuk menjadi penganut Syiah dengan tujuan memperbesar massa Syiah secara kuantitatif. Hal yang dilakukan IJABI melalui Muthahhari adalah memperkenalkan kepada masyarakat tentang khazanah yang hilang itu, mengajak orang untuk mencintai keluarga Nabi saw dan sekaligus menegaskan bahwa Syiah adalah bagian dari umat muslim. (Wawancara dengan Miftah F. Rakhmat, anggota Dewan Syuro IJABI dan pengasuh di Yayasan Muthahhari pada Rabu, 12 Juni 2013, dalam IJABI dan Pendidikan Ahlul Bait; Studi Kasus pada Yayasan Muthahhari Bandung, Nunu Ahmad An-Nahid).
Menurut Mftah F. Rakhmat, Muthahhari tidak akan mengidentifikasikan diri sebagai lembaga pendidikan Syiah. Namun demikian, hal itu tidak dapat memupus persepsi orang selama ini tentang Yayasan Muthahhari, mengingat Kang Jalal sebagai pendiri Yayasan Muthahhari telah menyatakan ke-syiahan-nya secara terbuka.
Menyangkut pengajaran akidah Syiah, Muthahhari mengaku tidak terlalu kesulitan, mengingat latar belakang siswa berasal dari keluarga Nahdliyin (NU), dimana tradisi keagamaannya lebih banyak kesamaannya dengan tradisi keagamaan Syiah. Kemudahan lainnya, karena SMP Plus Muthahhari telah dipercaya oleh sebagian orang tua, khususnya para pengurus IJABI bahkan tingkat nasional sebagai lembaga pengkaderan IJABI.
“Artinya, ada sebagian siswa yang memang sudah memiliki basis pengamalan keagamaan ahlul bait atau Syiah. Sejak awal pembelajaran, siswa dikenalkan dengan dasar-dasar keahlulbaitan yang terdiri dari dua mata pelajaran utama, yaitu Fiqh Ja’fari dan aqidah ahlul bait, selain aspek pendukungnya, yaitu siswa juga mempelajari bahasa Parsi,” ujar Reni Kurniati, alumni Qum Iran dan guru Fiqh Ja’fariyah pada SMP Plus Muthahhari, dalam IJABI dan Pendidikan Ahlul Bait; Studi Kasus pada Yayasan Muthahhari Bandung, Nunu Ahmad An-Nahid ).
Sementara itu, pada mata pelajaran PAI versi kurikulum Depdikbud, siswa mempelajari fiqh dan aqidah berdasarkan faham Sunni. Artinya, siswa mempelajari fiqh dan aqidah dari dua perspektif, Sunni dan Syiah.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Awalnya, siswa mengalami kebingungan. Namun pada prakteknya, saat shalat Dzuhur berjamaah, siswa yang mengamalkan fiqh Ja’fari melanjutkan shalat Ashar sesaat setelah shalat Dzuhur. Sementara siswa yang meng amalkan fiqh Sunni mundur ke belakang dan melaksanakan shalat Ashar saat sudah masuk pada waktunya.
“Praktek tersebut akan lebih tampak pada kelas IX, dimana siswa sudah mulai mampu mengambil pilihan secara mandiri. Ada siswa yang “berpindah” madzhab yang tadinya mengamalkan fiqh Sunni, kemudian mengamal kan fiqh ahlul bait (Syiah).”
Perubahan pada kelas terakhir ini tidak terlalu mencolok. Berkisar antara 10 sampai 20 orang. Menurut guru fiqh Ja’fari, “keberhasilan” menjadikan siswa sebagai penganut baru bagi faham Syiah ini, karena “kehebatan” guru aqidahnya. Manakala aqidah Syiah telah tertanam secara kuat pada setiap siswa, maka pada gilirannya mereka akan mengamalkan fiqh Ja’fari dalam pengamalan ibadah hariannya. (IJABI dan Pendidikan Ahlul Bait; Studi Kasus pada Yayasan Muthahhari Bandung, Nunu Ahmad An-Nahid).*