Hidayatullah.com– Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR RI meminta pemerintah agar menghentikan impor minyak dan gas (migas). Wakil Ketua Fraksi PKS, Mulyanto meminta pemerintah ke depan memperbaiki keseimbangan primer anggaran dan defisit transaksi berjalan (DTB) Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dengan meningkatkan penerimaan dan menyetop impor migas.
Mulyanto menilai, ada dua catatan negatif yang mencolok dari laporan realisasi APBN 2019, yaitu mengenai keseimbangan primer dan defisit transaksi berjalan. Kedua hal itu sangat berkaitan dengan sektor migas.
Dijelaskan, keseimbangan primer merupakan penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayangan bunga utang. Idealnya posisi pendapatan lebih besar daripada belanja negara. Dengan demikian kondisi keuangan dapat dikatakan aman. Sedangkan kalau pendapatan lebih kecil daripada belanja, maka untuk membayar bunga hutang diperlukan hutang baru. Ibarat gali lobang, tutup lubang.
Anggota Komisi VII DPR RI ini memaparkan, pada tahun 2018 kesimbangan primer APBN minus Rp 11,5 triliun, sedangkan tahun 2019, sebagaimana dilaporkan pemerintah mencapai minus Rp 77,5 triliun. Anjlok lebih dari 300 persen.
Penyebabnya selain karena penerimaan pajak yang rendah, juga kata dia yaitu karena penerimaan sektor migas yang tidak mencapai target yang disebabkan oleh lifting (produksi siap jual) migas yang terus merosot dari tahun ke tahun.
Tahun 2017 angka lifting minyak Indonesia sebesar 804 ribu barel per hari, melorot di tahun 2018 menjadi sebesar 778 ribu barel per hari. Dan kembali anjlok di tahun 2019 menjadi sebesar 741 ribu barel per hari. Akibatnya, kata Mulyanto, penerimaan dari sektor migas terus turun.
Sedangkan defisit transaksi berjalan, selisih antara nilai ekspor dan impor pada tahun 2018 mencapai minus 31.1 miliar USD $ dan pada tahun 2019 angkanya relatif tidak jauh berubah. Dari nilai defisit ini kontribusi sektor migas mencapai sekitar 30 persen. Ini artinya, masih kata Mulyanto, perdagangan Indonesia tekor terus, terutama sektor migas, khususnya impor minyak olahan.
“Terkait impor minyak olahan, defisit transaksi berjalan kita mencapai USD 16 miliar atau setara dengan Rp 230 triliun. Ini bukan angka yang kecil. Dan tentu akan sangat menguras devisa kita,” tegasnya.
Menghadapi kondisi tersebut, PKS menilai seharusnya pemerintah lebih serius dalam meningkatkan lifting migas dan membangun kilang-kilang domestik baru untuk pengolahan minyak di dalam negeri dalam rangka menyetop impor minyak olahan. Jangan sekadar mengeluh atau berwacana melulu soal mafia migas.
“Yang dibutuhkan adalah langkah konkret untuk memperbaiki tata kelola migas ini. Kita masih memiliki potensi untuk itu, karenanya pemerintah harus all out”, imbuhnya.
Menurutnya, jika pemerintah berwacana terus, sampai kapan kilang-kilang pengolahan minyak Indonesia beroperasi serta lifting kembali meningkat, minimal 1 juta barel per hari.
Sebelumnya, pemerintah membuka opsi keran impor gas untuk menekan mahalnya harga gas industri dalam negeri. Akan tetapi, rencana impor gas dikhawatirkan akan membuat defisit perdagangan migas semakin tajam.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang mengaku sudah menyiapkan analisa bila impor gas akan diambil. Menperin mengklaim negara dari Timur Tengah siap memasok gas ke pelabuhan dengan harga di bawah US$ 6 per MMBTU. Selama ini, kalangan industri mengeluhkan harga gas yang berada di atas US$ 6 per MMBTU.
“Kita sudah menyiapkan cost and benefit analysis kalau opsi impor dibuka, saya yakin bahwa nanti ada negara menawarkan US$ 4 [per MMBTU]. Kemudian katakanlah [ditambah] ongkos menjadi US$ 4,5 [per MMBTU] harga yang dibeli industri,” sebutnya kutip CNBC Indonesia, Kami (09/01/2020).
Pada Senin (06/01/2020), Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, membahas penurunan harga gas industri. Hasil ratas merumuskan sejumlah opsi sebagai solusi menekan harga gas. Yaitu; pemangkasan jatah gas buat pemerintah, rencana pemberlakuan DMO gas, dan terakhir adalah opsi untuk membuka keran impor gas.*