Hidayatullah.com– Kerusuhan yang terjadi di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Papua, 23 September 2019, lalu tak berkaitan dengan suku, agama, ras, antargolongan (SARA). Hal ini ditegaskan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Komnas HAM telah melakukan kunjungan ke Papua selama beberapa hari, yaitu pada 13-17 Oktober 2019 untuk menelusuri persoalan sebenarnya yang terjadi, termasuk situasi terkini.
Komnas HAM menilai kerusuhan –yang diketahui menelan banyak korban jiwa, harta benda, dan mengakibatkan terjadinya eksodus warga dari Papua– itu adalah tragedi kemanusiaan.
“(Kerusuhan) ini sama sekali enggak ada hubungannya dengan SARA,” ujar Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Menteng, Jakarta, Jumat (18/10/2019).
Menurut Ahmad, kerusuhan yang mengakibatkan banyak toko dan fasilitas umum dibakar itu juga menimbulkan korban jiwa dari berbagai macam suku yang ada di Papua.
“Ada berbagai korban dari berbagai suku yang ada itu. Mau dibilang pendatang atau orang asli, sama-sama ada yang menjadi korban,” ujarnya.
Meski demikian, diakui oleh Ahmad bahwa provokasi SARA memang ada. Seperti terakhir terjadi di Wamena yang dipicu adanya informasi seorang guru yang memberikan ungkapan rasis, namun setelah ditelusuri ternyata tidak terkonfirmasi.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyampaikan hal senada, bahwa kerusuhan yang terjadi di Wamena lalu itu bukan konflik SARA, apalagi sampai genosida.
“Kami ingin menegaskan bahwa apa yang terjadi di Wamena tanggal 23 September itu bukan konflik SARA, tetapi memang benar-benar tragedi kemanusiaan,” ungkapnya kutip Antaranews.
Baca: Berita Hoaks Menyulitkan Pendatang dan Warga Wamena yang Kini Sudah Berangsur Aman
Dakwah Media BCA - Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Komnas HAM pun meminta aparat Polri dan TNI menggunakan jaringan yang mereka miliki untuk mencari tahu kronologis sebenarnya terjadinya kerusuhan Papua, supaya tak ada lagi kronologis yang terlewat.
“Kami meminta polisi mencari tahu bagaimana mobilisasi orang-orang ketika kerusuhan terjadi. Dari mana massa? Bagaimana koordinasinya? Karena mereka datang dari ‘delapan penjuru angin’, dari mana-mana,” sebutnya.*