Hidayatullah.com– Presiden Joko Widodo didesak memberikan amnesti (pengampunan) kepada Baiq Nuril, seorang staf tata usaha (TU) di SMAN 7 Mataram, NTB, yang berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) divonis 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta rupiah.
Mahkamah Agung (MA) telah menolak upaya Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril. Penolakan MA terhadap PK Baiq Nuril itu otomatis menguatkan putusan pidana kepada wanita asal NTB itu, yakni penjara enam bulan dan denda Rp 500 juta.
Kasus yang sempat menyita perhatian publik Indonesia itu berawal saat mantan guru honorer SMAN 7 Mataram ini merekam percakapan telepon berisi pelecehan seksual yang menimpa dirinya oleh atasannya, Kepala SMAN 7 Mataram, H Muslim, sekitar tahun 2012.
Kasus ini kembali menjadi perhatian publik pada Jumat ini setelah MK menolak PK tersebut. Pantauan hidayatullah.com kasus ini sempat menjadi trending topic di media sosial termasuk twitter.
Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) yang mewadahi sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendesak Presiden Jokowi agar memberikan amnesti kepada Baiq Nuril.
“Hanya presiden yang bisa memberikan amnesti, tidak ada jalan lain. Hanya ini yang bisa menghapuskan akibat hukum,” ujar peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Genoveva Alicia, di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Jakarta Selatan, Jumat (05/07/2019).
Genoveva menilai, putusan MK itu akan mempersulit upaya mendorong korban kekerasan seksual berani berbicara dan bertindak atas kekerasan yang dialaminya.
Senada itu, Ketua LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan bahwa KMS menagih janji DPR RI untuk membentuk tim eksaminasi kasus yang menimpa Baiq Nuril. Lewat tim ini, DPR bisa mendorong presiden untuk memberikan amnesti.
“Langkah ini akan kami komunikasikan intensif dengan DPR. Kami harus optimis,” ujarnya.
Baca: Baiq Nuril Korban Pelecehan Seksual Divonis Bebas, Nama Baik dan Pekerjaannya Diminta Dikembalikan
Sedangkan kuasa hukum Baiq Nuril, Aziz Fauzi menyebut bahwa amnesti adalah cara terakhir agar kliennya terbebas dari jerat hukum.
Menurutnya, upaya grasi tidak memungkinkan diberikan kepada Baiq Nuril sebab syarat untuk mendapatkan grasi sangat terbatas yakni bagi terdakwa yang divonis minimal dua tahun, seumur hidup dan hukuman mati.
Sementara pidana yang dijatuhkan terhadap Baiq Nuril adalah enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
“Kami berharap diberikan (Baiq Nuril) amnesti sebelum eksekusi yang bisa saja terjadi dalam waktu 14 hari,” ungkapnya.
Aziz menilai, rekaman audio yang direkam oleh Baiq Nuril merupakan upaya melindungi diri Baiq Nuril dari pelecehan yang dilakukan bosnya tersebut.
“Sama sekali Baiq tidak pernah terpikirkan untuk melapor ke polisi karena itu hanya sebagai bukti bahwa dia tidak ada hubungan apa-apa dengan atasannya,” jelasnya.
Ia mengaku, Baiq Nuril sempat bercerita terkait pelecehan seksual melalui telepon itu kepada rekan wanitanya. Akan tetapi, seorang rekan kerja lainnya Imam Mudawin meminta rekaman tersebut kepada Baiq Nuril.
Belum diketahui pasti rekaman audio tersebut kemudian menyebar luas. Baiq Nuril kemudian dilaporkan pimpinannya ke kepolisian karena dituding telah mendistribusikan rekaman perbincangan itu.
Baiq Nuril dijerat pasal 27 Ayat 1 jo Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Baca: Kasus Ibu Nuril: Jangan Sampai Hukum Kehilangan Hakikatnya
Jokowi Persilakan
Sementara itu, Presiden mempersilakan Baiq Nuril untuk mengajukan amnesti kepada Presiden usai penolakan PK yang ditolak MA. “Boleh (mengajukan amnesti), secepatnya,” ujar Presiden di Pangkalan Udara TNI AU Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, Jumat (05/07/2019).
Akan tetapi Jokow enggan berkomentar soal putusan MA atas kasus yang menjerat Baiq Nuril.
“Saya tidak ingin mengomentari apa yang sudah diputuskan mahkamah, karena itu pada domain wilayahnya yudikatif. Ya nanti kalau sudah masuk ke saya, jadi kewenangan saya,” sebut Jokowi.
Presiden juga mengaku bila ada permohanan amnesti yang diajukan Baiq Nuril kepada dirinya maka ia akan membicarakannya lebih dulu dengan Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Menko Polhukam.
“Untuk menentukan apakah amnesti, apakah yang lainnya. Tapi perhatian saya sejak awal kasus ini, tidak berkurang, sekali lagi kita harus menghormati keputusan yang sudah ditetapkan mahkamah. Itu bukan pada wilayah eksekutif,” sebut Jokowi.
Diketahui, majelis hakim dalam sidang PK Baiq Nuril, yang diketuai Suhadi dan beranggotakan Margono dan Desnayeti, tak membenarkan dalil Baiq Nuril soal adanya kekhilafan hakim MA dalam putusannya di tingkat kasasi. Menurut majelis hakim, putusan di tingkat kasasi sudah tepat.
“Alasan permohonan PK, pemohon yang mendalilkan bahwa dalam putusan judex juris atau MA dalam tingkat kasasi mengandung muatan kekhilafan hakim atau kekeliruan, yang nyata tidak dapat dibenarkan. Karena putusan judex juris tersebut sudah tepat dan benar dalam pertimbangan hukumnya,” sebut juru bicara MA, Hakim Agung Andi Samsan Nganro.
Majelis hakim sidang PK menganggap kasus yang menjerat Baiq, yaitu mentransmisikan konten asusila sebagaimana diatur dalam UU ITE memang terjadi.
Kasus ini bermula saat Baiq Nuril bertugas di SMAN 7 Mataram dan kerap mendapatkan perlakuan pelecehan dari kepala sekolah SMAN 7 Mataram.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sang kepsek sering menghubunginya dan meminta Nuril mendengarkan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya sendiri. Baiq Nuril yang merasa tidak nyaman dan demi membuktikan tidak terlibat hubungan gelap, ia merekam pembicaraannya.
Atas dasar ini kemudian sang kepsek melaporkan Baiq Nuril ke penegak hukum.
Pengadilan Negeri (PN) Mataram menyatakan bahwa Baiq Nuril tidak terbukti mentransmisikan konten yang bermuatan pelanggaran kesusilaan.
Pada persidangan, Majelis Hakim PN Mataram bahkan menyatakan bahwa unsur “tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dana/atau dokumen elektronik” tidak terbukti sebab bukan ia yang melakukan penyebaran tersebut, melainkan pihak lain.
Baca: AILA Tolak Kasus Nuril Pintu Masuk Percepatan RUU P-KS
Menyoal UU ITE
Menanggapi kasus tersebut, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai ketidakadilan yang dialami Baiq Nuril saat ini bersumber dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Fahri menilai regulasi tersebut telah menimbulkan kesalahkaprahan.
“Baiknya pemerintah menarik kembali pasal di UU ITE, karena itu merugikan kebebasan masyarakat untuk membela diri,” ujar Fahri di Jakarta, Jumat (05/07/2019).
Fahri menilai pasal karet dalam UU itu membuat orang yang dituduh melanggar tak punya kebebasan untuk melakukan pembelaan. Padahal, Baiq Nuril sebagai korban pelecehan seksual seharusnya bisa membela diri dan bebas dari tuntutan pidana.* INI/ANT/SKR