Hidayatullah.com– Banyak cerita di balik kejadian berbagai bencana di Indonesia yang dapat menjadi pelajaran bagi bangsa ini. Di antaranya yang dituturkan Direktur Pemberdayaan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Lilik Kurniawan.
Seperti saat bendungan alam Way Ela di Maluku jebol pada tahun 2013. Bendungan alam ini, kata Lilik, terbentuk setahun sebelumnya, yakni pada tahun 2012. Penelitian-penelitian dan tanggul alami sudah dikerjakan di sana. Seorang gubernur di Maluku bahkan sudah setuju menjadikan dam itu sifatnya permanen agar bisa dipakai untuk perikanan, tempat wisata, dan PLTA. Tapi apa yang terjadi? Karena curah hujan tinggi di daerah hulu, dam alam ini menjadi penuh. Sehingga meluap, dan melewati tanggul itu.
“Sedikit demi sedikit mengikis tanggul. Dan pada 25 Juli tahun 2013, dam itu jebol. Menghancurkan satu desa yang kita sebut Negeri Lima. Ada sekitar 5.000 penduduk di sana. Tiga orang meninggal,” tutur Lilik dalam acara literasi bencana di ruang teater Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta Pusat, Senin (15/10/2018).
Korban pertama adalah seorang kiai yang mengajarkan anak-anak di sana mengaji tiap hari. Kiai ini mempunyai keyakinan bahwa dimanapun dia hidup, suatu hari akan meninggal juga. Cerita meninggalnya kiai ini mirip kisah Mbah Marijan -juru kunci Gunung Merapi.
Jadi, pada saat sebelumnya BNPB melakukan rencana kontigensi dan melatih simulasi ke mana penduduk sekitar dam harus mengungsi, kiai ini sebenarnnya selalu ikut di situ. Ia selalu mengajak santri-santrinya untuk berlatih kemana mereka harus mengungsi jika akan terjadi bencana.
“Tapi pada (hari kejadian) saat peringatan dini disampaikan, beliau malah masuk ke rumahnya dan mengunci pintunya. Beliau tidak keluar lagi. Sampai kemudian air itu mengenai rumahnya, dan rumahnya hilang bersama dengan beliau,” tutur Lilik.
Korban kedua, seorang pemuda yang ingin menyaksikan banjir bandang. Saking tingginya rasa ingin tahu si pemuda itu, ia sampai memanjat pohon kelapa untuk melihat banjir bandang. Tapi sialnya, banjir bandang itu menghanyutkan pohon kelapa itu dan dia pun ikut hanyut.
Korban ketiga, seorang bapak yang mencari anaknya. Ceritanya begini, setelah peringatan dini pertama, bapak ini mengungsi ke tempat yang aman. Tapi di tempat pengungsian, ia tidak menjumpai anaknya. Ia mencoba mencari anaknya hingga memutuskan kembali ke rumahnya untuk menemukan anaknya. Siapa tahu masih ada anaknya. Tapi celakanya, pada saat ia masuk ke rumahnya itu, banjir bandang datang menerjang. Dan ia pun meninggal.
Baca: IAGI Dorong Edukasi Bencana Masuk Kurikulum Pendidikan SD
Kejadian tanah longsor di Ponorogo, Jawa Timur, pada 1 April 2017 juga menyimpan banyak cerita. Sebulan sebelum kejadian, tanah itu memang sudah retak. Makin ke sini, retakan itu tambah besar. Lurah di sana sebenarnya sudah mengingatkan warga, jangan tinggal di situ. Karena ada satu desa di bawah bukit itu yang akan longsor.
Tapi peringatan itu dianggap angin lalu oleh warga. Mereka memilih bertahan di situ karena pada hari H, cuacanya cerah. Kalau kemarin-kemarin, hujan turun saban hari. Karena cuacanya cerah, warga di sana memutuskan untuk memanen jahe yang ada di sekitar rumah mereka. Mereka juga mengajak saudara-saudara dari luar desa mereka untuk ikut memanen jahe. Tak dinyana, jam delapan pagi kurang sedikit, terjadilah longsor. Akibatnya lebih dari 50 orang tertimbun di situ.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Ada juga cerita seorang anak yang terselamatkan dari tanah longsor karena beruntung. Jadi, pada saat memanen jahe bersama orangtuanya, karung tempat jahenya sudah penuh, sehingga si anak disuruh mengambil karung baru di rumahnya yang aman dari bencana itu. Pada saat dia kembali ke tempat tadi, orangtuanya sudah tertimbun longsor.
Korban lainnya, seorang bapak yang malamnya ronda di lokasi. Ia tertidur di gardu ronda dan terkena longsor.
“Jadi literasi (bencana) itu tidak hanya sekadar menceritakan kejadian-kejadian yang sifatnya komunitas, tapi juga orang per orang yang menarik untuk kita lihat. Karena sebenarnya itu ada di sekitar kita,” pungkas Lilik.* Andi