Hidayatullah.com– Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015, Abraham Samad, menilai, sudah tepat KPK menolak permintaan Menko Polhukam Wiranto untuk menunda pengumuman calon kepala daerah sebagai tersangka korupsi.
Jika meluluskan permintaan lembaga negara lain, menurutnya KPK bisa diartikan memperlambat dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
“Jabatan yang melekat pada Pak Wiranto adalah Menko polhukam. Jadi, permintaan terhadap KPK agar menunda pengumuman tersangka kepala daerah yang terlibat korupsi itu sudah merupakan bentuk intervensi terhadap KPK yang merupakan lembaga independen. Jangankan kementrian, Presiden pun tidak bisa mengintervensi KPK,” kata Abraham Samad kepada hidayatullah.com Jakarta, Kamis (15/03/2018).
Baca: Soal Wiranto, Pakar Hukum: Eksekutif Tak Bisa Intervensi KPK
Abraham mengingatkan, dalam sistem tatanegara, KPK ditempatkan sebagai lembaga independen yang berfungsi sebagai lembaga penegakan hukum dalam hal pemberantasan korupsi. Termasuk, korupsi yang dilakukan di sejumlah daerah yang melibatkan calon kepala daerah petahana atau yang bukan petahana.
Abraham dapat memahami, apa yang disampaikan Wiranto secara substantif bermuatan positif, yakni dalam penyelanggaraan Pilkada 2018 di 171 daerah agar tidak menimbulkan kegaduhan.
Pengumuman calon kepala daerah yang akan ikut pilkada diduga dapat mempengaruhi tahapan pilkada serentak dan pilihan rakyat terhadap calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka.
Namun begitu, Abraham mengingatkan, kalaupun KPK meluluskan permintaan Wiranto untuk menunda pengumuman tersangka, maka dampak yang ditimbulkan atas penundaan itu tidaklah kecil dan bahkan semakin buruk.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Abraham mencontohkan, kalau seorang kepala daerah yang semula sudah dilakukan pengusutan terhadap kasus korupsi tapi kemudian ditunda karena adanya permintaan, setelah selesainya pilkada dan dilantik menjadi kepala daerah, persoalan akan kembali muncul.
Selain merugikan biaya, waktu, dan tenaga untuk menyelenggarakan Pilkada, kata Abraham, juga merugikan rakyat pemilih yang tidak percaya lagi pemimpinnya sendiri karena mereka merasa dipimpin oleh kepala daerah yang korup.* Andi