Hidayatullah.com–Peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Dr Adian Husaini, tak sepakat bila Aliran Kepercayaan atau Aliran Kebatinan tidak masuk kolom KTP dianggap diskriminatif dan melanggar HAM. Menurutnya, permasalahan ini harus dilihat dari aspek keadilan, bukan aspek persamaan.
“Di negara manapun tidak ada yang sama haknya. Di Inggris, hak orang Islam dan Kristen apa sama? Hak untuk libur hari besar, apa sama? Kan tidak sama. Apakah dunia ribut diskriminasi? Tidak,” ujarnya kepada hidayatullah.com, Selasa (16/11/2017) di sekretariat INSISTS, Jakarta usai acara kajian rutin “Malam Rabu” bertema “Agama Asing dan Agama Asli Indonesia” (Analisi Dampak Keputsan MK tentang Aliran Kepercayaan terhadap Kehidupan Keagamaan di Indonesia).
Kalau menggunakan teori HAM, lanjutnya, semua boleh selama tidak mengganggu orang. “(Tapi) kenapa ada Undang-Undang Aliran Sesat?” ujarnya mempertanyakan.
Baca: Putusan MK terkait Aliran Kepercayaan, Adian: Selesaikan Masalah, Tambah Masalah
Soal penghayat Aliran Kepercayaan yang menuntut haknya, Adian mengusulkan untuk menyelesaikan kasus per kasus. Bukan menyetarakan Aliran Kepercayaan dengan agama. Sebab agama, kata dia, berbeda dengan Aliran Kepercayaan. Penyelesaiannya, penghayat Aliran Kepercayaan ingin kawin atau mendapat pelajaran sesuai kepercayaannya, maka diberikan akomodasi.
Tantangan Baru Dakwah
Sebelumnya, dalam diskusinya yang mengangkat topik dampak keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Aliran Kepercayaan boleh mencantumkan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP), telah mengundang respon banyak pihak, tidak kecuali dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan berbagai pihak lainnya.
Menurutnya, keputusan MK tersebut merupakan langkah yang tidak ringan dampaknya.
Ia setuju pendapat Ketua PP Muhammadiyah Dr Haedar Nasir yang mengatakan, cara pandang yang berada di balik keputusan MK ini adalah cara pandang liberal.
“Liberal maunya semua dipandang sama, ini tidak mungkin. Semangatnya (selalu) penyamaan. Padahal konstitusi kita menghendaki terciptanya keadilan, bukan penyamaan. Sekarang umat Islam yang 207 juta dianggap agama asing, sementara Aliran Kepercayaan dengan keputusan MK ini disamakan dengan agama,” papar peraih penulis buku terbaik kategori non fiksi dalam Islamic Book Fair (IBF), Jakarta 2006 ini.
Meski ia mengatakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini sudah final dan mengikat.
Baca: KH Ma’ruf Amin: Bermasalah, Keputusan MK Soal Penghayat Kepercayaan
Ia mengajak umat Islam tidak resah secara berlebihan dengan Keputusan MK soal Aliran Kepercayaan ini. Paling tidak, umat Islam menjadikan musibah ini untuk berdakwah kepada penghayat aliran kepercayaan.
“Kita resah, tapi jangan terlalu. Kondisi umat sekarang berbeda dengan masa 70-an. Kalau dari sisi spirit, kita patut berkaca dari bagaimana ulama pada masa penjajahan mampu menjaga akidah umat, yang tidak ada umat Islam berhasil dimurtadkan oleh penjajah,” ujarnya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Ia mengutip tokoh Masyumi Mohammad Natsir yang telah menyampaikan tantangan dakwah di Indonesia itu ada tiga.
Pertama, kristenisasi. Kedua, sekulerisasi dan ketiga, nativisasi, yaitu upaya mengagungkan masa pra Islam untuk merendahkan Islam.
“Inilah tantangan baru dakwah kita. Mungkin prosentase umat Islam akan menurun. Jadi umat Islam harus menampilkan Islam dengan sebaik-baiknya, memperkuat juru-juru dakwahnya, dan jadilah Muslim yang berkualitas yang patut diteladani,” jelas penulis kolumnis Catatan Akhir Pekan [CAP] di hidayatullah.com ini.
“Berikan contoh yang baik dan keteladanan kepada mereka agar tertarik dengan Islam. Jangan menampilkan sikap yang galak. Sekarang tinggal bagaimana umat Islam menampilkan dakwah yang elegan, bagus, dan penuh kasih sayang,” pungkasnya agar pegian Aliran Kepercayaan dan Aliran Kebatilan memilih Islam.*/Andi, Imam Nawawi