Hidayatullah.com– Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Indonesia menyayangkan belum adanya aturan teknis tentang realisasi atas restitusi, walaupun pasalnya sudah dimuat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (PA).
Restitusi merupakan pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku, berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
“Aturan teknisnya belum ada. Ketimbang fokus pada apa yang bisa kita lakukan terhadap pelaku, LPA Indonesia memandang lebih tepat kita duduk bersama merumuskan perealisasian restitusi bahkan kompensasi bagi korban,” ujar Ketua Umum LPA Seto Mulyadi melalui rilisnya kepada hidayatullah.com di Jakarta, Rabu (22/06/2016) lalu.
Kak Seto, panggilan akrabnya, mengungkap data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menunjukkan kasus-kasus terkait hak asuh berada di peringkat kedua.
Hal itu, kata dia, hingga beberapa segi, menunjukkan ‘kegagalan’ proses hukum/peradilan menghasilkan situasi yang lebih positif bagi anak-anak korban perceraian.
“Anak rentan menjadi korban kekerasan psikis berupa parental alienation dan parental abduction. Ini kekerasan dalam bentuk soft (halus) yang semestinya memperkuat dorongan bagi lahirnya UU Pengasuhan. LPA Indonesia turut memberikan sumbangan pemikiran terhadap RUU tersebut,” ujarnya.
Untuk itu, ia mengungkapkan, perlunya keterpaduan dalam mengambil langkah-langkah nyata sesuai Strategi Nasional (Stranas) PA 2016-2020.
“Termasuk indeks tentang peran seluruh pemangku kepentingan. LPA Indonesia siap bekerja sesuai Stranas tersebut. Baik pada lingkup prevensi, penanganan kasus, regulasi atau konstitusi, dan mobilisasi partisipasi publik,” tambah Kak Seto.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
LPA Indonesia, ungkapnya, juga menyemangati semua pihak untuk segera memfinalisasi dan mengesahkan RUU Pelarangan Minuman Beralkohol.
LPA juga mendorong penguatan UU Pornografi, serta penyempurnaan UU PA dan UU KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dengan tetap menjaga keselarasannya dengan UU Perkawinan.
Didorong pula dilakukannya revisi KUHP termasuk dengan memuat bab khusus tentang penanggulangan kekerasan seksual.*