Hidayatullah.com– Peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam melakukan proses sertifikasi halal ini meliputi penetapan standar, pemeriksaan (audit), penetapan fatwa dan penerbitan sertifikat halal telah menjadi rujukan lembaga-lembaga sertifikasi halal manca negara.
Demikian dikemukakan Ketua MUI, KH. Drs. Amidhan Shaberah, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VIII DPR RI, Senin, 10 November 2014, di DPR RI Jakarta.
“Oleh karena itu, regulasi halal hendaknya tidak merusak tatanan jaminan produk halal yang sudah ada dan dilangsungkan selama ini, terutama berkenaan dengan proses sertifikasi halal, dan fatwa halal oleh Komisi Fatwa MUI,” katanya dikutip laman MUI.
Sementara Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Ir. Lukmanul Hakim, M.Si., memaparkan, proses sertifikasi halal itu berbeda dengan sertifikasi mutu pada umumnya. Sebab kaidah halal itu merupakan kaidah syariah dengan prinsip-prinsip yang sudah baku dari Allah (Al-Quran), dan Rasulullah saw (Al-Hadits), dan dengan ranah kewenangan para ulama. Bukan sekedar compliance atau kesesuaian yang bisa dibuat dengan sistim check-list.
“Maka penetapan fatwa dengan melibatkan unsur-unsur non-keulamaan, niscaya akan menimbulkan permasalahan yang krusial,” tandasnya.
Dengan prinsip yang baku ini, tegasnya pula, maka jelas halal tidak dapat dinegosiasi, ditawar-tawar, apalagi kalau sampai diintervensi sesuai kepentingan pihak-pihak yang menginginkannya. Seperti kepentingan politik-pemerintahan, perdagangan, bahkan juga dengan kajian sains atau intervensi secara ilmiah.
Tidak Boleh Ada Intifa’
Sebagai contoh, seperti pada proses produksi vaksin. Untuk pengembang-biakan master bakteri atau virus dipergunakan media enzim yang sebagian besarnya berasal dari enzim babi. Memang secara ilmiah, pada produk akhir, unsur babi yang diharamkan dalam Islam ini tidak lagi terdeteksi sama sekali. Namun para ulama telah sepakat, tidak boleh ada sama sekali proses intifa’ atau pemanfaatan unsur babi untuk bahan-bahan yang akan dipergunakan atau dikonsumsi oleh manusia.
Penyembelihan sapi atau ayam, ia memberikan contoh lagi, apakah sesuai dengan kaidah syariah ataukah tidak sesuai, hasil penyembelihannya tidak dapat dideteksi dengan alat lab atau dengan kajian ilmiah apapun. Oleh karena itu harus dilakukan proses audit lapangan yang mendalam dan penetapan fatwa oleh para ulama. Sehingga dapat diketahui apakah jagal yang menyembelih hewan itu seorang Muslim ataukah bukan, dan dalam proses penyembelihannya dengan mengucapkan lafal “Basmalah” ataukah tidak.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dalam ketentuan MUI, untuk menghasilkan daging yang halal sesuai dengan ketentuan syariah, disyaratkan harus berasal dari hewan halal, yang disembelih oleh jagal Muslim, dan dengan mengucapkan lafal “Basmalah”. Kalau tidak memenuhi syarat-syarat itu, maka para ulama di MUI tidak akan menetapkan fatwa halal, dan tidak akan mengeluarkan sertifikat halal atas produk daging yang demikian itu.
Dalam RDPU mengenai “Persoalan tentang Keumatan dan Implementasi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal”, Komisi VIII DPR RI yang dipimpin oleh Dr. H. Saleh Partaonan Daulay, M.Ag., M.Hum., MA., menerima masukan-masukan yang disampaikan oleh para pimpinan MUI maupun LPPOM MUI.*