Hidayatullah.com–Anggota Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI Pusat yang juga Pakar Hukum Universitas Indonesia (UI), Neng Djubaedah Neng melihat ada ketimpangan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) terhadap harmonisasi keluarga.
Dengan UU PKDRT, seorang suami bisa “dimejahijaukan” jika melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan isterinya.
Selain itu, UU ini secara tidak langsung juga menggugat norma-norma agama.
“Di dalam UU PKDRT, pelaku kekerasan seksual dihukum selama 12 tahun. Sedangkan hukuman berzina di KUHP hanya sembilan bulan. Jadi, lebih ringan berzina ketimbang kekerasan di rumah tangga,” ucapnya tak habis pikir.
Menurutnya ada empat kekerasan yang disoroti UU PKDRT: fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga.
Diantara bunyi salah satu pasalnya: a. Kekerasan seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/ atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Ps 5 jo 8), yang meliputi: -Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/ atau tujuan tertentu.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Karena itu, lolosonya UU PKDRT dinilai sebagai salah satu keberhasilan aktivis liberal yang telah masuk dalam ranah undang-undang.
“Karena itu Undang-Undang ini (PKDRT) oleh kaum liberal dianggap salah satu keberhasilan mereka,”tukas Neng.*