Hidayatullah.com–Gugatan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkawinan beda agama dinilai sangat bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi UUD 1945. Pernyataan ini disampaikan Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM, Maneger Nasution.
“Gugatan uji materil ke MK terhadap UU no.1 th 1974 pasal 2 (1) tidak sejalan dengan prinsip sila 1 dan 2 Pancasila sebagai dasar negara, UUD 45 pasal 28B sebagai konstitusi negara, dan pasal 10 UU 39 th 1999 tentang HAM. Kalau itu dikabulkan sama saja artinya negara tidak hadir menjamin warganya menjalankan hukum agama yang mereka anut,” demikian disampaikan Maneger Nasuition dalam rilisnya pada hidayatullah.com, Senin (08/09/2014).
Menurutnya, masalah perkawinan adalah domain agama. Jika pasal 2 (1) itu dibatalkan maka hukum negara bakal menabrak hukum-hukum agama.
Menurut Manegerk, dalam UU laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak menikah untuk membentuk keluarga. Di Indonesia tidak ada pembatasan perkawinan karena etnis atau warna kulit. Tetapi tentang agama dibatasi oleh Dasar Undang-Undang tentang HAM (DUHAM), yaitu: pasal 16 ayat (1), UUD 45 dan UU serta budaya Indonesia.
Dasar HAM di Indonesia adalah sila 1 dan 2 Pancasila. Dalam UUD 45 pasal 28B ayat (1) ditegaskan bahwa setiap orangn berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Dan perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan sesuai ketentuan peraturan perundangan (pasal 10 ayat (2) UU 39 th 1999 tentang HAM). Dan pengaturan perkawinan di Indonesia itu, al, UU 1 th 1974.”
Menurut Manejer, posisi negara hanya sebatas mencatat adanya peristiwa perkawinan (fungsi administrasi). Sah atau tdknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama, bukan hukum negara.*