Hidayatullah.com—Saat ini ekspresi kebebasan menjadi gejala kalangan wanita Muslim. Salah satunya adalah fenomena kontroversi sebuah istilah baru yang aneh, Jilbo*bs, istilah sindiran dan olok-olok untuk perempuan yang memakai kerudung namun masih berpakaian ketat hingga menampakkan lekuk tubuhnya dengan jelas.
Menurut Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI), fenomena hadirnya tren busana yang tidak sesuai ketentuan syariah karena ukurannya adalah hak asasi manusia (HAM), bukan Islam lagi.
“Seolah-olah Jilbo*bs boleh dianggap sebagai salah satu gaya berbusana yang patut dihargai. Sementara itu gencarnya penggunaan istilah Jilbo*bs sebagai pelesetan tidak lepas dari menjadikan jilbab sebagai bahan olok-olok yang penuh aroma pelecehan,” ujar Iffah Ainur Rochmah dalam rilisnya pada hidayatullah.com, Jumat (08/08/2014).
Dalam rangka mengedukasi umat dengan pemahaman yang benar terhadap syariat dan menjaga kemuliaan hukum syariat sebagai panduan bagi seluruh perilaku manusia serta menjauhkannya dari perendahan dan pelecehan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menyampatkan peryataaan;
Pertama, jilbab adalah istilah syariat Islam terhadap pakaian muslimah ketika keluar rumah yang merupakan kewajiban bagi perempuan yang telah dewasa. Jilbab adalah sebutan Al Qur’an untuk baju kurung atau jubah yang menutup seluruh aurat sampai mata kaki (QS 33:59). Adapun kerudung, Al-Qur’an menyebutnya khimar adalah penutup kepala sampai dengan batas dadanya (QS 24:31) dan tidak berbentuk punuk unta untuk kepalanya.
Kedua, budaya saling menasihati dan mengarahkan telah diajarkan oleh Islam, harus kita lakukan terhadap para muslimah agar benar dan kokoh motivasi serta implementasi syariat berjilbabnya.
Ketiga, hendaklah kita tinggalkan penggunaan istilah dan penggandengan jilbab dengan kata-kata lain semisal ‘jilbab-gaul’ apalagi dengan kata-kata seronok semacam ‘Jilbo*bs’ karena hal tersebut bisa mengaburkan bahkan melecehkan jilbab sebagai bagian dari syariat yang telah memiliki penjelasan rinci tentang gambaran praktisnya, berbeda dengan model pakaian lainnya.
Keempat, tanggung jawab utama negara untuk edukasi melalui kurikulum pendidikan, penyuluhan, lembaga penyiaran dan berbagai media agar masyarakat bisa melaksanakan syariat berjilbab dengan landasan takwa, sesuai kaidah dan jauh dari motivasi menarik perhatian lawan jenis. Negara juga berkewajiban mengarahkan tren mode agar tidak bertentangan dengan syariat.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kelima, hendaklah kita sadari dan kita tolak kampanye faham kebebasan atas nama HAM yang menempatkan kecantikan perempuan sebagai komoditas yang layak dieksploitasi. Kampanye ini mengarahkan masyarakat melihat syariat berpakaian muslimah sebagai hambatan, pengekangan kebebasan dan karenanya perlu dikompromikan dengan tren mode agar tidak kehilangan daya tarik keperempuanannya.
“Syariat berjilbab adalah kewajiban masing-masing individu muslimah. Namun demikian, pelaksanaannya secara sempurna dan mudah bisa terwujud bila negara memiliki visi sejalan untuk pelaksanaan syariat secara kaffah,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua MUI KH Ma’ruf Amin pernah menyampaikan, bahwa fatwa MUI menyatakan haram wanita yang memperlihatkan bentuk-bentuk tubuh, termasuk menggunakan jilbab tapi masih berpakaian ketat.*