Hidayatullah.com–Sertifikasi halal untuk produk makanan, minuman, kosmetika, dan obat-obatan sampai kini belum diwajibkan pemerintah. Sertifikasi halal yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai bentuk kepedulian MUI sebagai lembaga “pelayanan umat”.
“Di masyarakat tak jarang makanan yang belum ada sertifikasi halalnya, malah disukai kaum Muslimin. Ini kan ironis,” kata Ketua Bidang Ekonomi MUI Jabar, H. Mustopha Djamaluddin, dalam diskusi makanan halal di Bandung, Rabu (20/3/2013).
Padahal, serbuan kuliner, khususnya dari luar negeri amat besar, seperti dari restoran Jepang, Amerika, India, Thailand, maupun Korea. “Pasar Indonesia yang besar merupakan potensi dimasuki restoran-restoran kuliner. Namun, apakah kita pernah menanyakan masalah kehalalannya?” ujarnya.
Demikian pula makanan dan jajanan yang dikonsumsi sehari-hari, juga perlu diragukan kehalalannya. “Akibat sebagian pedagang tak tahu minyak babi, lalu dicampur ke bakso, mi, dan lain-lain. MUI dengan Lembaga Pengkajian Makanan Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) peduli dengan soal halal dan haram makanan ini,” tuturnya.
Sedangkan Kabid Pembinaan LPPOM Daerah, H. Nurwahid mengatakan, di Singapura dan Malaysia, bahkan Australia, amat ketat dalam pembedaan antara makanan yang haram dan halal.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Para pedagang di tiga negara itu akan melarang kaum Muslimin untuk datang ke restorannya karena masuk dalam kategori restoran yang menjual produl haram. Di Indonesia malah tidak jelas, akibatnya kaum Muslimin mengonsumsi makanan haram,” ucapnya, seperti dimuat Pikiran Rakyat.*