Hidayatullah.com–Laporan dari Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) Sumatera Barat menyatakan masih banyak produk yang belum bersertifikasi halal.
“Laporan yang diperoleh dari LPPOM-MUI, potensi produk yang harus mendapatkan sertifikasi halal sekitar 12.000 jenis. Sekarang baru 500 jenis telah mendapat sertifikasi halal,” kata Kepala Biro Bina Sosial Setdaprov Sumbar, Eko Faizal di Padang, Selasa (26/2/2013).
Menurut dia, kenyataan itu tentu perlu mendapatkan perhatian sehingga produk-produk yang dihasilkan pelaku usaha, baik makanan atau obat-obatan, diyakini bebas dari bahan terlarang dalam agama Islam.
Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi akan membuat regulasi untuk mengatur produk-produk dihasilkan masyarakat agar berlabel halal.
“Biro Hukum Setdaprov Sumbar sudah diminta untuk berkoordinasi dengan Biro Hukum Kemendagri, tapi belum ada Peraturan Pemerintah (PP) atau Permendagri yang mengatur secara jelas kewenangan provinsi membuat produk hukum sertifikasi halal tersebut,” katanya, dalam Antara.
Berdasarkan saran dari Biro Hukum Kemendagri sepanjang aturan multitafsir mengatur kewenangan provinsi membuat regulasi terkait produk halal itu, maka kerja sama saja dengan MUI.
“Menjelang lahirnya UU sertifikasi halal, maka untuk jangka pendek Pemprov Sumbar akan melakukan pembuatan nota kerja sama dengan MUI, karena lembaga tersebut yang akan mengeluarkan sertifikasi tersebut,” katanya.
Pihaknya masih menunggu persetujuan dari Gubernur terkait pembuatan dan perumusan nota kesapahaman dengan MUI Sumbar.
“Jika nota yang disampaikan kepada Gubernur sudah disetujui, maka secepatnya akan dilakukan MoU dengan MUI,” ujarnya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Menurut dia, pembuatan regulasi sertifikasi halal itu sebagai upaya pemerintah daerah dalam melindungi masyarakat, sehingga Sumbar ke depan bisa menjadi daerah produk halal.
Terkait dengan perkembangan sekarang, tak tertutup kemungkinan ada masyarakat atau pelaku yang menghasilkan produk baik makanan, minuman dan kosmetika, tertipu dengan bahan baku.
“Tingginya sebagian bahan baku, menimbulkan adanya daging oplosan di pasaran berbagai daerah. Tak tertutup kemungkinan bahan baku lainnya dicampur pihak-pihak yang ingin mengambil untung sesaat,” katanya.*