Hidayatullah.com—Hanya sedikit masyarakat tahu, bila saat ini Komisi III DPR RI tengah menggodok Rancangan Undang-Undang tentang Lambang Palang Merah (RUU LPM).
RUU yang diajukan sejak tahun 2005 ini berisikan mengenai teknis spesifikasi pemakaian Lambang Palang Merah dan merupakan kelanjutan dari ratifikasi Konvensi Jenewa yang mewajibkan setiap negara memilki satu lambang disetiap lembaga kemanusiaannya.
Mungkin banyak masyarakat tidak tahu bahwa di komisi III DPR RI sekarang ini sedang dibahas Rancangan Undang-Undang tentang Lambang Palang Merah (RUU LPM). Padahal RUU ini tak kalah kontroversial dibandingkan RUU KKG.
RUU yang diajukan pada tahun 2005 ini berisikan mengenai teknis spesifikasi pemakaian Lambang Palang Merah dan merupakan kelanjutan dari ratifikasi Konvensi Jenewa yang mewajibkan setiap negara memilki satu lambang kemanusiaan untuk perhimpunan nasionalnya agar dalam suatu konflik perhimpuan nasional ini dilindungi dari serangan senjata.
Lambang yang diperkenankan dalam konvensi tersebut adalah lambang Palang Merah (Red Cross), Bulan Sabit Merah (Red Crescent), dan Kristal Merah (Red Cristal).
Tapi, dari isi RUU ini banyak sekali yang pada akhirnya menuai kontroversi. Dari mulai pengenaan sanksi bagi setiap yang menyalahgunakan lambang palang merah, hingga kekuatan yuridis RUU ini nantinya yang akan dapat menggeser organisasi kemanusiaan lain selain PMI.
Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) melalui ketua umumnya Dr Basuki Supartono memberikan tanggapan penolakannya terhadap RUU tersebut.
Menurut Dr Basuki penyeragaman logo Palang Merah melalui undang-undang merupakan kebijakan otoriter yang menyalahi UUD 45 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul.
Ia juga menyatakan logo Palang Merah adalah simbol yang menyakini kenyakinan tertentu. Di mana ini bertentangan dengan semangat demokratisasi diera reformasi ini.
“Mengapa ada lambang yang notabene berasosiasi dengan akidah tertentu dipaksakan menjadi suatu lambang yang mewakili seluruh masyarakat suatu negara yang mayoritas adalah Muslim,” ujarnya di sela seminar kebencanaan BSMI di Aula Gedung Badan Narkotika Nasional (BNN) kepada hidayatullah.com, Sabtu (06/07/2012).
Kehadiran RUU ini, menurutnya, juga merupakan bukti arogansi dari sikap otoriter dari kelompok tertentu. Padahal menurutnya, umat Islam yang mayoritas di Indonesia sendiri tidak pernah memaksakan penyeragaman agama terhadap agama lain.
“Agama saja di negara ini bebas, mengapa lambang palang merah harus diseragamkan,” jelasnya.
Seperti diketahui, BSMI merupakan salah satu organisasi yang paling lantang menolak RUU LPM ini karena alasan monopoli dan diskriminasi tersebut.
Menurut Basuki, meski Palang Merah secara yuridis adalah lambang yang netral –tak merujuk agama, bangsa manapun- tapi, tak bisa dipungkiri jumlah masyarakat Indonesia yang sebagian besar Muslim akan rentan mengalami penolakan, apalagi yang memakai lambang tersebut adalah rohaniawan.
Ini bukan alasan asal. Ia bahkan menilai, Penolakan di masyarakat mengenai lambang ini sudah sering terjadi pada negara-negara dengan mayoritas Muslim.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Misalkan saya Turki Utsmani yang pertama kali membuat Lambang Bulan Sabit Merah ini karena merasa risih akan Lambang Palang Merah.”
Atau Malaysia yang sudah lama mengganti Lambang Palang Merahnya menjadi Lambang Bulan Sabit Merah. Iran bahkan dinilai pernah menggunakan Lambang Singa Merah sebagai lambang kemanusiannya walau akhirnya dihentikan pemakainnya.
Tak terkecuali Israel sendiri yang sampai sekarang masih konsisten menggunakan Lambang Bintang David Merah walau lambang tersebut tidak ada dalam Konvensi Jenewa.
Baginya bulan sabit merah bukan hanya sebatas simbol bagi sebuah lembaga kemanusiaan saja. Lebih dari itu, bulan sabit merah adalah representasi dari dasar semangat dan militansi relawan kemanusiaan berlatar belakang Islam ketika bekerja bagi kemanusiaan.
“Dengan adanya simbol bulan sabit merah, inikan jadi bukti bahwa Islam juga perduli kepada kemanusiaan, ketika agama kami selalu diidentikan dengan terorisme,” jelas dokter yang merupakan ahli bedah tulang ini.*