Hidayatullah.com--Lambannya pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Aceh penyebabnya terkendala oleh lunturnya sifat keteladan dari seorang pemimpin, mulai pemimpin level bawah sampai dengan pemimpin level teratas.
Hal itu terungkap dalam seminar tentang “Refleksi Penegakan Syariat Islam, Mekanisme adat sebagai solusi penyelesaian pelanggaran Syariat Islam” , yang dilaksanakan oleh Lembaga Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI) di Aula Hotel Jeumpa, Lampineung Banda Aceh, Kamis, belum lama ini.
“Pelaksanaan Syariat di Aceh sekarang dibutuh ketauladan dari pemimpin mulai dari kepala lorong, hingga sampai kepada kepala provinsi. Jika mereka tidak memberi keteladan baik. Maka, jangan pernah berharap Syariat Islam bakal berjalan secara kaffah di bumi Aceh,” ujar Tgk H Ramly Yusuf, dalam seminar tersebut.
Menurut Tgk Ramly, sejak Syariat Islam dideklarasikan di Acehsepuluh tahun lalu , tapi, perjalanan syariat sampai sekarang masih saja disebut sebagai tahapan-tahapan sosialisasi.Padahal, dengan terbentuknya sejumlah lembaga pendukung seperti Dinas Syariat Islam, MPD, MPU, MAA, dan Mahkamah Syariah, jelas dia, menjadi pendorong berjalannya syariat sebagaimana diharapkan.
Susanana diskusi yang dipandu Roys Fahlevi, mantan aktivis HMI ini berlangsung hangat ketika terjadinya permasalahan terhadap batas-batas kewenangan hukum hukum Syariat dalam wilayah hukum adat, atau sebaliknya bagaimana dan di mana batas wilayah humum adat yang dapat bersentuhan dengan hukum syariat.
“Faktanya, banyak pelanggaran syariat yang ditemuai di lapangan, kerap sekali diselesaikan dengan hukum adat. Sementara, pelanggran itu tergolong sebagai kasus terberat seperti kasus zina dan mesum,”ungkap Khairil seorang peserta wakil dari Lembaga Kontras Aceh.
Mantan Kadis Syariat Islam kota Banda Aceh, Drs. Said Yulizal, M.Si yang juga berpartisipasi dalam kegiatan itu turut menguatkan pernyataan peserta sebelumnya, Tgk Ramly Yusuf, bahwa penerapan syariat Islam di Aceh diperlukan sokongan pemimpin melalui kebijakan-kebijakan yang pro terhadap umat Islam.
Pada kesempatan itu, Sayed juga mengingatkan bahwa budaya dan adat istiadat tidak boleh disyariatkan. Tapi, syariat islam lah yang wajib dijadikan budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dalam Seminar itu, panitia menghadirkan masing-masing empat pembicara yaitu, Tengku Tarmizi M Daud dengan tema makalah, “Syariat Islam menurut Al-Quran dan Hadits”. Pemakalah kedua, tampil Tengku Ayub mewakili Majelis Adat Aceh mengusung judul “Relevansi Hukum Adat dengan Hukum Syariat Islam.”
Sedangkan, dari Dinas Syariat Islam, membawa makalah “Refleksi Pelanggaran Syariat Islam dan Kinerja Syariat Islam.”
Sementara ketua Komisi A DPRA, Abdullah Shaleh, mengupas tentang “Pemberlakuan Qanun Nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat yang ada di Aceh.” */tgk marmus