Hidayatullah.com—Senin, 10 Oktober 2011 depan, pemerintah Belanda akan naik banding melawan vonis dua pengadilan singkat yang diajukan kelompok separatis di pengasingan, Republik Maluku Selatan (RMS) Oktober-November tahun lalu.
Ketika itu RMS menuntut penangkapan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan menlu Hassan Wirayuda.
Belanda naik banding untuk mempertanyakan keabsahan RMS dan pemerintahnya di pengasingan.
Menurut John Wattilete, Presiden RMS di Belanda mengatakan, strategi Belanda ini atas tekanan pemerintah Indonesia, karena RMS sudah sah sejak 25 April 1950.
“RMS tidak senang dengan strategi atau sikap pemerintah Belanda karena strategi ini atas dasar tekanan pihak Indonesia, yang tidak mau bahwa RMS eksis dan kuat di muka hakim,” ujar John Wattilete kepada Radio Nederland (RNW).
Hukum
Senin mendatang pemerintah Belanda naik banding mempertanyakan keabsahan RMS dan keabsahan pemerintahan RMS di pengasingan. Tapi, menurut Wattilete, yang pertama harus dijawab apakah RMS adalah satu negara yang masih tetap eksis. Artinya tahun 1950 RMS diproklamasikan.
Dulu hakim Belanda sudah mengakui bahwa RMS adalah satu negara dan berhak untuk ke pengadilan. Pertanyaan sekarang apakah tahun 2011 RMS masih tetap berdiri sebagai satu negara.
Dan untuk jawab itu, kata Wattilete, mereka meminta pendapat dua ahli hukum: satu dari Belanda dan satu dari Dublin, Irlandia, yaitu Dr. Noelle Higgins, pakar hukum pemerintahan dari Universitas Dublin dan Dr. De Brabandere, pakar hukum internasional di Universitas Leiden untuk menjawab pertanyaan ini.
Opini RMS, sudah sejak 1950 RMS berdiri selaku satu negara dan mengaku telah dianeksasi secara ilegal oleh Republik Indonesia.
Menurut kedua pakar tersebut pemerintah RMS punya kewenangan penuh untuk mewakili RMS di muka hakim.
Wattilete menambahkan, jika hakim tidak menerima opini dua pakar hukum itu, maka harus dijelaskan mengapa hakim punya pendapat berbeda dari dua ahli ini. Karena menurutnya, ini atas satu dasar research yang didukung oleh literatur yurisprudensi dan lain-lain.
Menurut Wattilete sangat sulit menolak argumen pakar hukum ini, karena itu ia sangat optimis. Ditambah lagi, kedua ahli hukum ini tidak ada hubungan dengan RMS, tapi punya pendapat yang sama.
Disisi lain, kelompok RMS langsung berang mendengar langkah pemerintah Belanda ini.
Menurut mereka, kepentingan rakyat Maluku, serta kepentingan membela hak azasi manusia, kurang dihargai pemerintah Belanda. Mereka menuduh Den haag lebih mementingkan hubungan bilateral antara Belanda dan Indonesia.
Menurut Wattilete, RMS sebagai negara tidak perlu diakui Belanda. Menurut dua ahli hukum internasional, pengakuan satu negara, apakah negara itu berdiri atau tidak, itu tidak penting untuk menarik kesimpulan bahwa negara itu sah.
“Ini adalah satu keputusan politik, bukan yuridis. Kan ada banyak juga negara yang tidak mengakui Palestina, bukan karena Palestina bukan satu negara, tapi ada alasan politik. Seperti Indonesia juga tidak mengakui Israel, adalah alasan politik. Tapi Indonesia mengakui Palestina,” demikian John Wattilete, presiden RMS di pengasingan.
Sebagaimana diketahui, RMS yang kini berbasis di Den Haag, Belanda, adalah negara yang tidak mendapat kedaulatan dan menjadi anggota Bangsa-Bangsa Tidak Terwakili dan Organisasi Rakyat (UNPO).
Gerakan RMS sebelumnya sudah dihancurkan oleh Pemerintah Indonesia setelah mereka mendeklarasikan kemerdekaan pada 1950. Setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998, gerakan ini muncul kembali dan sekarang bermarkas di Belanda.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pemerintahan RMS menyebut diri mereka sebagai pemerintah dalam pengasingan dan sudah menyatakan kemerdekaan sepenuhnya. Mereka berharap bisa mendapatkan kedaulatan penuh sebagai negara merdeka terpisah dari Indonesia.
Namun menurut pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana, ada empat syarat sesuai konvensi Montevideo yang dijadikan dasar bagi negara-negara untuk mengakui sebuah negara.
Pertama, memiliki wilayah, kedua memiliki penduduk, ketiga punya pemerintahan dan keempat punya kemampuan untuk berhubungan dengan negara lain.
Sementara RMS tak memilikinya. Hikmahanto menilai, RMS hanyalah pemberontak.
“Kalau RMS mengaku punya wilayah, maka wilayahnya itu ada di mana? Karena Maluku itu kan merupakan wilayah dari Indonesia. Dan RMS itu tidak mempunyai kedudukan di sana. Karena pemerintah Indonesia menganggap RMS adalah organisasi bahkan gerakan pemberontakan yang bisa dilakukan tindakan polisionil,” ujarnya dikutip RNW.*