Hidayatullah.com–Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Dr Sofian Effendi mengemukakan hal tersebut pada dialog antara orang tua mahasiswa baru UGM dengan pimpinan UGM di Grha Sabha Pramana UGM, Selasa (24/8). Dikatakan, tidak masuk akal Singapura yang hanya berpenduduk 3,8 juta orang mendirikan 6 universitas baru. Langkah itu semata-mata supaya putra putri Indonesia mau kuliah di Singapura, dan kemudian di-brain wash (cuci otak) dengan berbagai cara sehingga memiliki pemikiran kapitalis. “Bayangkan bagaimana amburadulnya penyelenggaraan pemerintahan dan jalannya perekonomian nasional kita, kalau lulusan-lulusan seperti ini yang menduduki jabatan-jabatan strategis. Yang ada bukan lagi negara kebangsaan Republik Indonesia, tetapi sebuah pasar besar bagi negara kecil yang kebetulan mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang lebih baik,” tegasnya. Dia menilai, tidak ada lagi semangat kebangsaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akibatnya privatisasi diterjemahkan sebagai menjual BUMN kepada siapapun, termasuk kepada negara lain. Padahal privatisasi mestinya diterjemahkan sebagai pengalihan BUMN dari negara kepada rakyatnya sendiri. Lebih lanjut dia menuturkan, globalisasi membuat lulusan universitas dari negara manapun leluasa bekerja di Indonesia. Keputusan pemerintah mengikuti AFTA menjadikan Indonesia sebagai pasar yang terbuka lebar bagi siapapun. Terlepas apakah keputusan itu bijak atau tidak, universitas-universitas di Indonesia harus menyiapkan lulusan yang mampu bersaing di tingkat global. Dialog dengan orang tua mahasiswa baru pertama kali ini diadakan secara resmi oleh rektorat UGM. Dari surat undangan yang diedarkan melalui 6 ribu mahasiswa baru S1 reguler UGM, hanya sekitar 2 ribu orang tua mahasiswa yang menyatakan akan hadir. Namun, ternyata lebih dari 3 ribu orang datang ke acara dialog, sehingga orang tua mahasiswa yang datang belakangan tidak kebagian snack dan buku profil UGM. Dalam dialog, salah satu orang tua mahasiswa baru UGM asal Medan meminta agar demonstrasi mahasiswa dibatasi. Dia khawatir, kalau keasyikan demo, mahasiswa justru melupakan tugas utamanya, yaitu belajar. “Demo-demo itu mbok dibatasi. Kalau demo terus, kapan belajarnya ?” ucapnya diiringi tepuk tangan sebagian orang tua mahasiswa baru. Menanggapi pernyataan tersebut, Sofian menanggapi, pihaknya tidak dapat menghalang-halangi adanya unjuk rasa mahasiswa. Sebab demonstrasi merupakan bagian dari kehidupan demokrasi di tanah air. Dia menambahkan, demonstrasi boleh-boleh saja, asal tidak sampai mengganggu belajar dan kuliah. Namun menurutnya, IP sebagian demonstran memang di bawah 2,00. (bernas)
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/