Hidayatullah.com–Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung AS sebagian besar terdiri dari milisi Kelompok Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) yang oleh Turki anggap sebagai ‘kelompok teror’ yang merupakan bagian dari Partai Pekerja Kurdi (PKK), partai berafiliasi Komunisme-Marxisme.
Turki meluncurkan operasi militernya ke Suriah utara pekan lalu menandai serangan lintas-perbatasan utama ketiga Ankara sejak 2016.
Ankara mengatakan “Operation Peace Spring” (Operasi Mata Air Perdamaian) bertujuan untuk memberantas Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin orang Kurdi dari wilayah Suriah utara yang berbatasan dengan Turki dan menciptakan apa yang disebut “zona aman” di mana jutaan pengungsi Suriah dapat bermukim kembali. Turki menampung sekitar 3,6 juta pengungsi Suriah yang melarikan diri dari perang saudara yang telah berlangsung hampir delapan tahun.
Ankara menganggap Kelompok Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG), yang membentuk kekuatan SDF, kelompok “teroris” yang terkait dengan kelompok separatis Kurdi, Partai Pekerja Kurdistan (PKK), di dalam Turki. PKK disebut sebagai “kelompok teroris” oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Operasi Turki terjadi setelah pemerintahan Trump memutuskan untuk menarik tentaranya, yang telah menawarkan perlindungan untuk SDF.
Keputusan mengejutkan itu menuai kritik dari Partai Republik, Demokrat dan sekutu Eropa AS sebagai SDF – yang memainkan peran utama dalam mengalahkan Daesh (ISIL, juga dikenal sebagai IS) – dibiarkan berjuang sendiri .
AS telah mendanai dan mempersenjatai SDF dalam perang melawan ISIL di Suriah barat laut.
Siapa para petempur SDF?
SDF, sebuah aliansi milisi Kurdi dan Arab, didirikan pada 2015, hampir empat tahun setelah pemberontakan bersenjata meletus terhadap pemerintah rezim Suriah Bashar al-Assad.
Kelompok Kurdi itu berjuang untuk pemerintahan sendiri di timur laut Suriah karena mereka mengatakan mereka telah mengalami diskriminasi secara historis.
Kekuatan militernya sebagian besar terdiri dari pejuang YPG dan kelompok-kelompok kecil pejuang Arab, Turkmenistan dan Armenia.
Turki menganggap YPG, yang merupakan bagian terbesar dari pasukan SDF, perpanjangan dari PKK, yang telah melancarkan kampanye bersenjata yang menewaskan lebih dari 40.000 orang sejak 1984.
Operasi pertama Turki, bernama “Euphrates Shield“, melihat Ankara menyeberang ke barat laut Suriah pada tahun 2016 untuk membersihkan daerah dari ISIS dan para petempur YPG.
Dua tahun kemudian, Rusia, sekutu dekat militer al-Assad, mengizinkan Turki untuk melancarkan operasi lain untuk mengusir YPG dari Kota Afrin, yang mayoritas masyarakatnya beretnis Kurdi di barat laut Suriah. Operasi tersebut, bernama “Olive Branch” berakhir dengan Turki mengamankan perbatasannya dengan Suriah di sebelah barat Sungai Eufrat.
Apa hubungan AS dengan SDF?
Pada 2017, AS mulai mempersenjatai SDF sebelum serangan untuk merebut kembali Raqqa, ibukota de facto dari ISIS.
Ada kekhawatiran oleh komunitas internasional tentang langkah AS, terutama ketika SDF melakukan operasi di kota-kota dan desa-desa mayoritas Arab di Suriah timur laut, di mana Kurdi Suriah merupakan 10 persen dari populasi.
Kurdi YPG dan sekutunya melanjutkan untuk mengukir daerah otonom di utara, di mana mereka mengendalikan hampir seperempat dari Suriah, meningkatkan kekhawatiran menggeser demografi wilayah tersebut.
Pada Januari 2018, AS mengumumkan akan melatih sekitar 15.000 pejuang Kurdi Suriah untuk menjadi bagian dari pasukan perbatasan berkekuatan 30.000 di bagian utara negara itu. Turki menuduh AS membentuk “pasukan teror” di perbatasannya.
“Apa yang bisa ditarget tentara teror selain Turki?” kata presiden Turki pada saat itu. “Misi kami adalah mencekiknya bahkan sebelum ia lahir,” kutip Al Jazeera.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kehadiran pasukan AS di timur laut telah menghalangi Turki untuk melintasi perbatasan.
Baca: Operasi Militer Turki Lebih Besar Dari yang Diperkirakan
Apakah SDF melanggar HAM?
Pemerintah Turki menuduh YPG melakukan pembersihan etnis terhadap orang-orang Arab Suriah, tetapi pada Maret 2017 kelompok itu dibebaskan oleh investigasi PBB terhadap tindakan pelanggaran hak terhadap kelompok etnis.
Namun, setahun kemudian, sebuah laporan 37 halaman oleh Komisi Penyelidikan PBB menuduh SDF melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan serangan terhadap warga sipil di Suriah.
Dirilis pada Maret 2018, laporan itu mengatakan SDF telah mewajibkan anak-anak, termasuk anak perempuan dan anak berusia 13 tahun, mengikuti pelatihan militer bertentangan dengan keinginan mereka.
“Sebagai bagian dari kampanye wajib militer paksa di daerah-daerah di bawah kendalinya, SDF terus memaksa pria dan anak-anak untuk dinas militer sepanjang periode pelaporan,” kata laporan itu.*/Nashirul Haq AR