Hidayatullah.com—Lebih dari separuh berita Inggris selama lima tahun terakhir, yang menyebutkan terorisme, teroris, atau teror, juga selalu merujuk pada Muslim atau Islam, menurut sebuah laporan yang diterbitkan pada hari Rabu (26/08/2020).
Itu hampir sembilan kali lebih banyak dibandingkan jika pelaku diidentifikasi sebagai “sayap kanan”, “neo-Nazi” atau “supremasi kulit putih”, analisis oleh Pusat Pemantauan Media Dewan Muslim Inggris mengatakan.
Rizwana Hamid, direktur dewan, mengatakan ada “fokus yang tidak proporsional” terhadap Muslim dan bahwa tajuk berita yang menggunakan istilah seperti “Allahu Akbar” menyiratkan bahwa “agama selalu menjadi motivator”, Middle East Eye melaporkan.
“Sementara sekarang tampaknya ada pengakuan akan pentingnya konsistensi dan skala ancaman sayap kanan di antara para penyiar, dan sebagian besar pers, jalan masih panjang,” lanjut Hamid.
Inkonsistensi tetap ada, dengan fokus yang tidak proporsional pada Muslim.
“Yang terburuk dari semuanya, tajuk berita yang menggunakan istilah-istilah agama seperti ‘Allahu Akbar’ untuk menyiratkan bahwa agama selalu menjadi motivator, mengabaikan faktor-faktor lain seperti sejarah kriminal dan masalah kesehatan mental yang mungkin berperan -yang sering disebutkan ketika pelakunya bukanlah seorang Muslim.”
Pelabelan ‘Teroris’ Sayap Kanan
Laporan berjudul “How the British Media Reports Terrorism”, didasarkan pada analisis lebih dari selusin serangan teroris antara 2015 dan 2020 di Amerika, Inggris dan Eropa serta serangan Christchurch di Selandia Baru.
Dewan Muslim menganalisis lebih dari 230.000 artikel yang diterbitkan di 31 situs berita, majalah, dan berita utama Inggris. Hal tersebut dilihat dari inkonsistensi dalam pemberitaan serangan teroris tergantung dari latar belakang pelakunya.
Laporan itu mengatakan liputan media tentang terorisme “secara konsisten tidak konsisten”.
Laporan tersebut juga menemukan bahwa antara Oktober dan Desember 2018, setidaknya satu dari empat artikel online menyebutkan Muslim atau Islam dalam topik terorisme atau ekstremisme.
Perbandingan statistik serangan teror dalam 18 bulan terakhir juga menunjukkan “keengganan” untuk menyebut serangan oleh supremasi kulit putih sebagai “serangan teroris” dibandingkan dengan “bila terduga pelaku adalah Muslim”, terutama oleh outlet media yang berhaluan kanan.
Penulis analisis mencatat ada peningkatan sejak serangan Christchurch pada Maret tahun lalu, di mana penembak Brenton Tarrant menewaskan 51 jemaah Muslim.
Dikatakan “peningkatan signifikan” telah dibuat pada tahun lalu, dengan istilah “teror”, “terorisme” dan “teroris” yang disertai oleh Islam dan Muslim hanya dua kali lebih sering daripada” “sayap kanan”, “neo-Nazi” atau “suprmasi kulit putih” pada 2019.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Laporan tersebut menetapkan sejumlah rekomendasi termasuk agar media Inggris mengadopsi definisi terorisme yang konsisten, “transparan dan bersifat publik”, menghindari penggunaan headline dengan istilah “Allahu Akbar” yang digunakan untuk mengidentifikasikan motif, dan menghindari menyediakan panggung bagi suara sayap kanan dan supremasi kulit putih kecuali dalam ruang di mana ia dapat ditempatkan secara kontekstual dan tak bebas kritik.
“Dalam interaksi kami dengan direktur editorial, editor pengelola, koresponden keamanan, dan produser senior, secara umum ada kemauan untuk berefleksi, dan kami berharap rekomendasi kami membantu meningkatkan standar bagi kita semua,” tambah Hamid.*