Hidayatullah.com—Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hari Senin (24/8/2020) memperingatkan bahwa penggunaan plasma darah dari pasien sembuh Covid-19 untuk mengobati pasien lainnya masih dianggap terapi yang sifatnya eksperimental.
Hari Ahad, US Food and Drug Administration (FDA) –dengan wewenang khusus yang dimilikinya– memberikan izin apa yang disebut “penggunaan darurat” terapi plasma itu dalam rangka mempercepat ketersediaan obat yang dianggap menjanjikan di masa krisis kesehatan seperti sekarang ini.
Patut dipahami tindakan itu tidak sama dengan atau bukan berarti memberikan stempel persetujuan bahwa terapi plasma itu aman dan efektif. Masih banyak studi yang harus dilakukan untuk membuktikan bahwa terapi itu benar-benar manjur untuk pengobatan Covid-19.
Sejauh ini, “Hasilnya belum konklusif,” kata kepala ilmuwan WHO Dr Soumya Swaminathan saat memberikan keterangan pers seperti dilansir Associated Press. “Saat ini, itu masih berupa bukti berkualitas rendah.”
Terapi plasma konvalesen merupakan metode pengobatan yang sudah berusia seabad yang dulu dipakai untuk mengatasi wabah flu dan campak di era vaksin belum ditemukan. Terapi itu dicoba dipakai kembali ketika penyakit Ebola mewabah di Afrika. Ketika tubuh diserang bibit penyakit baru, tubuh bereaksi dengan menghasilkan protein yang disebut antibodi yang khusus untuk memerangi infeksi bibit penyakit tersebut. Antibodi mengapung dalam plasma, cairan berwarna kekuningan bagian dari darah. Plasma tersebut yang diambil pasien penyintas Covid-19 lalu diproses dan diberikan kepada pasien lain yang terinfeksi coronavirus.
Swaminathan mengatakan WHO menganggap terapi plasma masih dalam tahap eksperimental dan masih harus terus dievaluasi. Dia mengatakan terapi itu sulit distandarisasi, karena plasma harus dikumpulkan secara individual dan setiap orang menghasilkan tingkat antibodi berbeda-beda.
Meskipun demikian, dia menyerahkan keputusan kepada masing-masing negara apakah mengizinkan penerapan terapi itu atau tidak, dengan mempertimbangkan risikonya masing-masing.
Tindakan FDA mengizinkan penggunaan terapi plasma itu diumumkan pada saat penjelasan pers hari Ahad (23/8/2020) oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang disebutnya sebagai sebuah “terobosan”.
Dalam surat yang memaparkan tindakan darurat FDA itu, Saminathan menegaskan bahwa terapi plasma konvalesen “hendaknya tidak dianggap sebagai standar perawatan baru” bagi kasus infeksi coronavirus, dan bahwa data yang lebih banyak lagi dari berbagai studi berkaitan dengan hal itu akan tersedia dalam bulan-bulan mendatang.
Sementara itu Martin Landray dari Universitas Oxford mengatakan sementara terapi plasma tampaknya “sangat menjanjikan” tetapi belum ada bukti-bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa terapi itu memang manjur untuk mengobati Covid-19.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Stephen Griffin, seorang associate professor bidang kedokteran di Universitas Leeds, mengatakan masih cukup banyak ketidakpastian tentang respon sistem imun terhadap Covid-19, sehingga potensi penggunaan terapi plasma konvalesen masih banyak tantangannya.
“Sepertinya pelajaran dari hydroxychloroquine belum benar-benar diresapi,” kata Griffin, merujuk pujian dan optimisme setinggi langit yang diberikan oleh Presiden Trump terhadap potensi obat malaria itu untuk menyembuhkan Covid-19.
FDA pernah memberikan izin darurat penggunaan hydroxychloroquine untuk pengobatan Covid-19, tetapi beberapa bulan kemudian menghentikan penggunaannya setelah berbagai uji coba dan studi menunjukkan obat itu tidak cocok untuk merawat pasien Covid-19 dan justru berdampak pada kerusakan jantung, ginjal, liver dan menimbulkan masalah lainnya.*