Hidayatullah.com—Presiden Yaman meminta separatis selatan untuk “menghentikan pertumpahan darah” dan mematuhi perjanjian pembagian kekuasaan dalam komentar publik pertamanya sejak para separatis menyatakan otonomi pada April.
Konflik antara Dewan Transisi Selatan (STC) dan pemerintah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi yang diakui secara internasional menegakkan front kedua di Yaman, telah terpecah oleh perang antara loyalis pemerintah dan pemberontak Houthi.
STC, yang menyatakan pemerintahan sendiri pada 26 April, telah membuat serangkaian keuntungan militer, yang terbaru bulan ini ketika merebut pulau Socotra yang strategis di Samudra Hindia.
“Saya menyerukan kepada apa yang disebut Dewan Transisi Selatan .. untuk kembali ke jalur Perjanjian Riyadh dan menghentikan pertumpahan darah,” kata Hadi, sebgaimana dikutip oleh Aljazeera, dalam pertemuan pada hari Sabtu dengan pejabat tinggi pemerintah, merujuk pada kesepakatan pembagian kekuasaan daerah selatan pada November lalu yang dengan menjadi buntu.
Kesepakatan Riyadh
Implementasi kesepakatan Riyadh “telah lama goyah karena kegiatan eskalasi yang berkelanjutan, termasuk pengumuman pemerintahan sendiri dan pemberontakan yang terjadi di Socotra”, kata Hadi, yang telah tinggal di ibukota Saudi setelah pengambilalihan Sanaa dan sebagian besar Yaman. oleh Houthis pada tahun 2014.
“Penggunaan senjata dan pemaksaan demi keuntungan pribadi … tidak akan diterima,” tambahnya.
Perjanjian tersebut, yang ditandatangani pada Mei 2019, mencakup penyatuan semua formasi militer di bawah wewenang kementerian dalam negeri dan pertahanan, serta pembentukan pemerintah yang efisien yang dibuat setara antara utara dan selatan Yaman.
Terletak di lepas pantai selatan Aden, sebagai pusat pemerintahan sementara Yaman, Socotra dekat dengan jalur pelayaran strategis dan terkenal karena keanekaragaman hayatinya.
Ketegangan telah meningkat selama beberapa bulan terakhir sejak separatis menyatakan pemerintahan sendiri di Aden dan provinsi selatan lainnya.
‘Perang dalam Perang’
Hal ini mendorong pemerintah Yaman pada Mei untuk meluncurkan serangan militer di Abyan yang bertujuan mengusir separatis dari Aden.
Para separatis selatan dan pemerintah Yaman secara teknis bersekutu dalam perang melawan orang-orang Houthi, tetapi keretakan di antara mereka merupakan “perang dalam perang” yang menambah runyam kondisi negara termiskin di Semenanjung Arab ini.
Awal pekan ini, koalisi militer yang dipimpin Saudi yang mendukung pemerintah melawan Houthi mengatakan pihaknya telah mengerahkan pengamat untuk memantau gencatan senjata antara pasukan pro-pemerintah dan separatis selatan yang diumumkan dua hari sebelumnya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pasukan Saudi tiba pada hari Rabu di Shaqra dan Sheikh Salem, dua titik konflik di provinsi Abyan, Yaman selatan, untuk memantau gencatan senjata itu, kata sumber-sumber militer.
Runtuhnya gencatan senjata di selatan akan kembali mempersulit upaya pemerintah untuk mengusir Houthi, yang diyakini bersekutu dengan musuh regional Saudi, Iran.
Pihak separatis dan pemerintah akan mengadakan pembicaraan lebih lanjut di Arab Saudi untuk membahas gencatan senjata, kata juru bicara koalisi Turki al-Maliki minggu ini.
Sejak pemberontakan Houthi disusul dengan koalisi yang dipimpin Saudi meluncurkan serangan militer pada 2015, puluhan ribu orang, sebagian besar warga sipil, telah terbunuh dan jutaan orang terlantar di Yaman, yang oleh PBB disebut sebagai bencana kemanusiaan terburuk di dunia.*