Sambungan artikel PERTAMA
Dilara, yang hampir tidak berbicara selama percakapan tersebut, mengatakan bahwa Mushtakim menginap di pondok kumuh.
“Kenangan orangtuaku menghantui”
Nur Hossain (12), dan adik perempuannya, Jahura Begum (7) Nur Hossain, termasuk yang selamat. Tujuah bagian anggota keluarganya telah tewas.
“Saat itu sekitar pukul 10 pagi, pada 25 Agustus, ketika desa kami di Rodiongsong, Maungdaw, diserang. Saya menarik tangan adik saya, membawanya lari melintasi persawahan, dan mengikuti warga desa lainnya,” ujarnya.
“Kedua orang tua kami, Sultan Ahmed dan Hajera Khatun, meninggal dalam serangan itu. Warga desa lainnya membawa kami ke sini,” ujarnya.
Nur juga mengatakan, sejak dua tahun terakhir, anak-anak Rohingya dan Rakhine tidak lagi bersekolah di sekolah yang sama. “Kami dipisahkan, dan anak-anak Rakhine dipindahkan ke sekolah lain,” ujarnya.
Baca: Pengakuan Etnis Rohingya: “Pergilah atau Kami Bunuh Anda Semua
Dulu Nur, senang bermain sepak bola. Namun, setelah merasakan ketakutan pada militer, ia berhenti bermain bola. “Di sini, kami tak lagi takut pada tentara. Tetapi, kenangan tentang orangtua tak bisa saya lepaskan. Saya mengingat mereka dengan baik. Mereka sangat mencintai saya, dan sekarang mereka tak ada lagi,” ujarnya.
Rashid, Rashida, Nur Hossain, dan Jahura Begum hanya sebagian kecil dari anak-anak Rohingya yang kini menjadi yatim piatu. Masih ada lebih dari 1.000 anak-anak yang tak punya orangtua lagi tinggal Cox’s Bazaar.
Mereka tak memiliki orangtua, kehilangan anggota keluarga lainnya, dan yang menyedihkan adalah kehilangan kehangatan keluarga.
Militer Menyerbu Rumah
Anjuman, bersama adik laki-lakinya, sedang bermain dengan saudara iparnya Bahadur Hossain di rumah mereka di desa Saheb Bazar di Buchidong.
“Tiba-tiba, tentara menyerbu masuk ke rumah kami dan mulai menembaki tanpa pandang bulu,” ujar bocah berusia 11 tahun, namun tidak ingat tanggal pasti serangan tersebut, katanya kepada Aljazeera .
Bahadur berlari menuju pintu, tapi tak bisa lepas dari peluru, kata Anjuman. Dia meninggal bersama 10 anggota keluarga lainnya, termasuk orang tuanya – Gura Miah dan Shamsunnahar.
Anjuman datang ke Bangladesh bersama kakaknya, Anwar (35 tahun).
Shapolu Barua, petugas penjangkauan di CFS Kutupalong, mengatakan “sebagian besar anak-anak di sini telah mengalami trauma.”
“Misalnya, Rashid menjalani sesi konseling yang sangat panjang. Dia menggigil pada hari pertama dan terus mengatakan ‘Mereka membunuh orang tua saya,'” kata Shapolu, yang bekerja untuk CODEC, sebuah LSM yang melaksanakan proyek UNICEF.
Anak-anak, katanya, telah dikategorikan menjadi dua kelompok utama – satu antara 4 dan 11 tahun, yang lain berusia antara 12 sampai 18 tahun.
“Bagian junior adalah yang paling rentan,” katanya, menambahkan bahwa staf di pusat tersebut berusaha membuat ikatan dengan anak-anak dan “menasihati mereka untuk menumpahkan rasa takut kepada militer Myanmar”.
“Untuk kelompok usia 12-18, kami memiliki pusat-pusat remaja, di mana mereka mempelajari pelajaran tentang kesehatan reproduksi dengan program pendidikan lainnya.”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Baca: Militer Myanmar Lakukan Pemerkosaan terhadap Wanita Rohingya
CFS di Kutupalong berupa ruang tertutup, terbuat dari batang bambu dan jerami, saat ini menampung 562 anak, yang 70 persennya datang setelah 25 Agustus 2017.
“Kami fokus pada dukungan psikososial dan rekreasi, ketrampilan hidup berdasarkan isu pendidikan, perlindungan dan keselamatan serta kesehatan dan kebersihan,” kata Selim dari UNICEF.
“Kami juga menyediakan barang-barang rekreasi: mainan belajar, bolpen dan pensil, pensil warna dan juga bahan olah raga,” katanya, menambahkan bahwa banyak anak-anak “benar-benar mati rasa dan trauma”.
“Beberapa dari mereka tidak benar-benar ingin berbicara Kami tidak memaksa mereka dan malah memberi mereka ruang untuk menetap dan membuka secara bertahap, melihat semua anak ini bersenang-senang,” katanya kepada Aljazeera .*