Hidayatullah.com—Para menteri negara anggora Uni Eropa mengatakan bahwa Presiden Suriah Bashar Al-Assad seharusnya tidak diberikan lagi peran di negaranya pascakonflik di masa mendatang. Pernyataan itu menyusul perubahan sikap Washington, yang mengatakan penggusuran Assad dari kekuasaan bukanlah prioritas.
Hari Senin (3/4/2017) menjelang pertemuan di Luxembourg, para menteri luar negeri Uni Eropa mengatakan mereka melihat tidak ada masa depan bagi Presiden Bashar Al-Assad pascakonflik di Suriah. Pernyataan itu dimunculkan setelah Amerika Serikat mengatakan pendekatannya untuk mewujudkan perdamaian di kawasan itu akan berubah, lapor Deutsche Welle.
Meskipun baik AS maupun UE sebelumnya berulang kali menuntut Assad turun dari jabatannya, sebagai syarat dari perundingan damai, pekan lalu Washington mengisyaratkan bahwa pengunduran Assad tidak lagi menjadi prioritas. Amerika Serikat akan lebih mengkonsentrasikan sumber dayanya untuk memerangi “jihadis” seperti ISIS alias Daesh, kata Dubes AS untuk PBB di New York Nikki Haley.
Akan tetapi, Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini mengatakan dia meyakini “mustahil” kembali ke status quo di Suriah setelah kesepakatan untuk mengembalikan perdamaian di negara itu tercapai.
“Kelihatannya sama sekali tidak realistis untuk meyakini bahwa Suriah di masa datang akan sama persis seperti di masa lalu,” kata Mogherini setibanya di pertemuan menteri-menteri luar negeri Uni Eropa.
Menteri Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel mengatakan perubahan sikap AS itu bisa jadi “lebih realistis.” Sementara Gabriel mengatakan tidak menuntut Assad untuk mengundurkan diri sejak awal akan mengurangi resiko deadlock, dia juga memperingatkan AS bahwa pemimpin Suriah itu harus menanggung kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya.
“Namun, ada satu hal yang tidak bisa terjadi – yaitu seorang diktator yang melakukan kejahatan keji di kawasan itu tetap tidak tersentuh [hukum],” kata Gabriel.
Perundingan-perundingan damai yang disponsori PBB harus berlanjut dengan tujuan menciptakan “konsititusi baru, pemilu dan pemerintahan baru dan demokratis,” imbuh Gabriel. “Ini tidak bisa diabaikan atau disepelekan dengan konflik melawan Islamic State (ISIS/Daesh).”
Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Marc Ayrault mengatakan negaranya tidak membayangkan Suriah yang baru dan damai akan dipimpin oleh Assad.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Hari Selasa (4/4/2017) ini Mogherini dan PBB akan memimpin konferensi dua hari tentang masa depan Suriah. Pertemuan itu memfokuskan pada situasi kemanusiaan di negara itu setelah hampir tujuh tahun mengalami peperangan, yang telah merenggut nyawa lebih dari 320.000 orang dan menyebabkan setengah penduduknya terlunta-lunta dan menjadi pengungsi di berbagai negara dan benua.
Sementara upaya-upaya internasional terus mencari solusi untuk mewujudkan perdamaian, Mogrherini menekankan bahwa hasil politis apapun nantinya tetap tergantung pada rakyat Suriah.
“Ini harus diputuskan oleh rakyat Suriah sendiri, itu sudah pasti,” kata Mogherini. “Solusi apapun yang bisa diterima oleh seluruh rakyat Suriah, maka kami akan mendukungnya,” imbuh wanita itu.*