Hidayatullah.com—Para Biksu Buddha dan ratusan nasionalis Burma berbaris di kedutaan AS di Myanmar pada hari Kamis melampiaskan kemarahan mereka pada sebuah nama ‘Rohingya’.
Seminggu sebelumnya, setidaknya 21 orang meninggal pada kecelakaan sebuah perahul di barat Myanmar wilayah Rakhine. Permasalahannya orang-orang tersebut berasal dari kelompok etnis Rohingya – Muslim minoritas Myanmar yang tertindas di negeri itu.
Sembari mengibarkan selebaran dan berorasi, 300 pendemo tersebut tidak marah atas kondisi yang menyebabkan orang-orang tersebut, termasuk sembilan anak kecil, meninggal dalam sebuah kecelakaan perahuketika mereka sedang dalam perjalanan dari kamp IDP (tempat pengungsian internal) mereka menuju sebuah pasar.
Ikat kepala mereka bertuliskan “No Rohingya” dan mereka memprotes tentang penggunaan istilah tersebut, yang oleh kedutaan AS sebutkan dalam pernyataan belasungkawa.
“Kami ingin memberitahukan pada kedutaan AS dan duta besar untuk Myanmar, dan kepada seluruh negara lain, bahwa tidak ada Rohingya di negeri kami,” seorang biksu Buddha, Parmaukkha, yang berasal dari kelompok Ma Ba Tha mengatakan pada kerumunan orang di luar kompleks kedutaan.
“Jika Amerika Serikat menerima istilah ‘Rohingya’ maka Anda harus membawa mereka kembali ke negaramu,” ujarnya Jumat (29/04/2016) dikutip laman thediplomat.com.
Penggunaan istilah “Rohingya” merupakan hal yang diperebutkan. Itu secara luas digunakan di luar Myanmar untuk mendiskripsikan minoritas Muslim yang sejumlah lebih dari satu juta orang. Tetapi di dalam Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, yang juga dikenal dengan Burma, istilah itu ditolak oleh banyak orang yang mendeskripsikan kelompok itu sebagai “imigran ilegal Bengal.”
Etnis Rohingya dapat dilacak kembali ratusan tahun lalu di Myanmar, tetapi mereka tidak diakui oleh pemerintah Burma sebagai salah satu kelompok etnis resmi negara itu.
Rohingnya jadi Duri Dalam Daging Kepemimpinan Aung San Suu Kyi
Setelah konflik antar etnis pada 2012, sekitar 120.000 penduduk Rohingya tinggal di kamps-kamp IDP. Kebebasan bergerak dan akses pada pelayanan kesehatan, pendidikan dan pekerjaan mereka ditolak. Mereka yang tinggal di luar kamp bahkan tidak lebih baik. Mereka juga terperangkap di desa-desa mereka dan tidak bebas bergerak.
Tragedi yang terjadi minggu lalu itu terjadi ketika sekelompok Rohingya berjumlah 60 orang melakukan perjalanan dengan sebuah perahu dari tempat tinggal mereka di kamp Sin Tet Maw ke ibukota negara bagian Rakhine, Sittwe untuk membeli makanan. Pembatasan berarti mereka tidak diizinkan bepergian menggunakan jalan raya. Mereka hampir mencapai tujuan mereka ketika perahu yang mereka tumpangi terbalik.
Merespon insiden tersebut, kedutaan AS merilis pernyataan berisi keprihatinan dan kesedihan mereka.
“Kami menyampaikan belasungkawa kami pada keluarga dari para korban, yang laporan setempat menyatakan mereka berasal dari komunitas Rohingya,” pernyataan itu tertulis. “Pelarangan dalam mengakses pasar, mata pencaharian, dan pelayanan dasar lainnya di Negara Bagian Rakhine dapat menuntun komunitas itu mempertaruhkan nyawa secara tidak perlu dalam sebuah usaha untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.”
Menanggapi pernyataan itu dengan marah, sekitar 250 anggota dari Jaringan Nasional Myanmar – sebuah kelompok pemuda nasionalis yang dituduh menyebarkan sentimen anti-Muslim – turun ke kedutaan AS. Mereka bergabung dengan 50 biksu Buddha dari organisasi garis keras Ma Ba Tha, yang juga dikenal sebagai Asosiasi Pelindung Ras dan Agama.
Jaringan Nasional Myanmar telah dituduh melakukan tur-tur ke desa di Burma untuk “mendidik” anak-anak tentang Islam – termasuk menyuruh murid-murid untuk membaca daftar kejahatan yang dilakukan atas nama Islam.
Ma Ba Tha merupakan kelompok Buddha yang kuat di Myanmar yang berulang kali dituduh menyebarkan sentimen anti-Muslim. Tahun lalu mereka berperan dalam lolosnya empat Hukum Ras dan Agama – yang termasuk pembatasan nikah antar agama dan orang dalam berganti agama – yang kelompok hak asasi sebut sebagai “diskriminatif.”
Di bawah pengawasan polisi, kerumunan itu meneriakkan “Mereka semua yang menggunakan istilah Rohingya untuk menamai para Bengal merupakan musuh kami” dan “Jika kedutaan AS Yangon bersimpati dengan pembohong Bengal, bawa mereka ke Amerika.”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pemimpin Jaringan Nasional Myanmar Ko Win Ko Ko Latt memberikan sebuah surat pada penjaga keaman di kompleks gerbang.
Surat itu bertuliskan: “Penggunaan istilah yang secara resmi ditolak oleh Myanmar dianggap sebagai sebuah upaya yang dengan sengaja memprovokasi konflik sosial dan agama serta kerusuhan di negeri kami… Amerika Serikat secara serius didesak untuk menghormati diplomasi etnis dan menghindari penggunaan istilah palsu Rohingya mulai dari sekarang.
Seorang juru bicara kedutaan AS mengatakan bahwa kedutaan itu “mendukung hak rakyat untuk berkumpul secara damai dan berdemo.”
Berbicara pada media, Duta Besar AS untuk Myanmar Scot Marciel mengatakan dia berharap orang akan fokus pada pesan belangsukawa daripada penggunaan nama.
“Kebiasaan normal AS dan masyarakat internasional bahwa komunitas di mana saja mempunyai kemampuan untuk memutuskan apa yang akan dipanggil,” kata dia.
Demontrasi pada Kamis itu bukan hanya satu-satunya contoh dari memanasnya ketegangan beragama di Myanmar. Dua minggu lalu biksu Buddha mengusir penjual Muslim keluar dari Pagona Shwedagon, situs Buddha paling dihormati di Myanmar. Para penjual merupakan ciri yang biasa ditemui di pagoda-pagoda sepanjang negara itu. Dua hari kemudian seorang supir taksi Muslim dipukuli setelah berkendara melewati pagoda itu*/Nashirul Haq AR