Hidayatullah.com—Perdana Menteri Prancis Manuel Valls mengatakan bahwa kerudung wanita Muslimah harus dilarang di lingkungan universitas. Komentar itu mengundang kecaman dari sebagian rekan satu partainya.
Dilansir France24, dalam wawancara panjang dengan koran Prancis Libération yang dipublikasikan hari Selasa (12/4/2016), perdana menteri dari Partai Sosialis itu ditanya secara langsung apakah larangan kerudung yang sekarang ini sudah diterapkan di sekolah-sekolah negeri dan di lingkungan kerja sektor publik harus diperluas ke lingkungan universitas.
Valls menjawab “seharusnya dilakukan demikian,” meskipun dia mengakui bahwa ada peraturan dalam konstitusi yang membuat larangan semacam itu sulit dilakukan.
Prancis, yang menerapkan secara ketat pemisahan antara gereja (agama) dengan negara dan melihatnya sebagai bagian fundamental dari nilai-nilai negara, memiliki sejumlah hukum sekularisme yang paling keras di dunia.
Pemerintah melarang penggunaan secara berlebihan (terang-terangan) simbol-simbol keagamaan, termasuk kerudung dan salib, di sekolah dasar dan menengah pada tahun 2004. Sementara hukum yang sudah berlaku selama puluhan tahun mewajibkan pekerja sektor publik bersikap imparsial, yang artinya juga mereka tidak bisa mengenakan pakaian atau asesoris yang mengekspresikan agama dan kepercayaannya.
Sebagia rekan satu partai Valls di Partai Sosialis yang berkuasa saat ini menilai larangan kerudung yang diperluas hingga ke lingkungan universitas terlalu berlebihan.
Najat Vallaud-Belkaem, menteri pendidikan, berpendapat larangan kerudung tidak bisa diperluas ke universitas. Menurut wanita itu, yang merupakan keturunan migran Muslim asal Maroko, mahasiswa sebagai orang dewasa memiliki hak kebebasan berpikir dan kebebasan beragama.
“Universitas-universitas kita juga memiliki banyak mahasiswa asing. Apakah kita akan melarang mereka akses karena di dalam budaya mereka ada jenis pakaian tertentu,” imbuhnya saat wawancara dengan stasiun radio RMC.
Menteri Pendidikan Tinggi Thierry Mandon mengatakan tidak perlu ada undang-undang berupa larangan seperti itu.
“Ini adalah para mahasiswa, yang sebagai orang dewasa memiliki hak untuk mengenakan kerudung,” kata Mandon kepada radio RTL. “Jika saya punya kesempatan untuk berbicara dengannya (Valls), saya akan katakan kepadanya tidak perlu bertindak demikian.”
Berbicara kepada France24 profesor sosiologi Universitas Paris VIII Eric Fassin menuding PM Valls “membuat-buat masalah.”
Menurut Fassin, “menghapuskan agama [dari universitas] sama seperti menghapuskan politik. Orang dewasa adalah warganegara, mereka memiliki hak untuk berpendapat.”
“Satu-satunya alasan [kerudung] dilarang adalah jika ada masalah. Namun semua orang setuju –dan rektor-rektor universitas telah mengkonfirmasi– bahwa tidak ada masalah dengan kerudung. Jadi perdana menteri ini menbuat-buat masalah.,” imbuh Fassin.
PM Valls dalam wawancara yang dirilis Libération itu mengatakan “sekularisme ada dalam DNA kita. Wajar jika kita memperdebatkannya.”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Republik ini dibangun dalam rangka menentang kekuatan Gereja Katolik. Pada masa sekarang ini adalah kebangkitan Islam radikal yang melawan sekularisme,” imbuhnya.
“Saya yakin dengan negara ini, pesan-pesannya dan nilai-nilai universal yang dimilikinya. Saya ingin kita dapat menunjukkan bahwa Islam … pada dasarnya kompatible dengan Republik ini, dengan demokrasi, nilai-nilai kita dan kesetaraan antara pria dan wanita,” kata Valls.
PM Manuel Valls adalah satu dari sedikit menteri dalam pemerintahan yang mendukung pernyataan Menteri Hak-Hak Wanita Laurence Rossingnol, yang awal bulan ini mengatakan bahwa kerudung dipakai sebagai alat politik bagi “para wanita yang diperbudak,” ketika mengomentari soal peluncuran produk hijab oleh rumah mode Dolce & Gabbana. Rossignol membandingkan pengguna kerudung dengan “orang-orang Negro (kulit hitam) yang mendukung perbudakan.”*