SAAT Asoma Khatu, bayi berusia tiga bulan, mendekati akhir hidupnya karena sesak napas, tetangganya Elia, mantan petani berusia 50 tahun, mengais-ngais beberapa obat yang tersisa dari kotak obat yang ada di tempat pengungsian etnis Rohingya.
Bayi yang mengalami malnutrisi berat itu diberi parasetamol dari beberapa parasetamol yang tersisa untuk mengobati demamnya, juga diberi handuk basah di dahinya. Kemudian diberi garam rehidrasi untuk diarenya. Tetapi bayi itu tidak tertolong. Sementara obat-obatan hanya itu yang tersisa.
Untuk menuju tempat tinggal Asoma yang berupa penampungan berdebu dan sesak, dapat ditempuh dua jam naik perahu dari Sittwe, ibukota negara bagian Rakhine di barat Myanmar. Lokasi itu, yang dihuni umat Muslim tak memiliki identitas kewarganegaraan itu, saat ini menghadapi krisis pelayanan kesehatan sejak diberlakukannya pembatasan bantuan internasional masuk ke wilayah itu.
“Saya pikir anak saya akan dapat diobati dengan baik jika ada orang di sini untuk membantu,” kata Gorima, ibu Asoma, kepada Reuters saat memeluk tubuh ringan anaknya yang terselubung.
Pada bulan Februari lalu, pemerintah Myanmar mengusir kelompok bantuan utama, Medecins Sans Frontieres-Holland (MSF-H), untuk memberikan bantuan kesehatan kepada lebih dari setengah juta Rohingya di negara bagian Rakhine, setelah kelompok itu mengatakan, orang-orang Rohingya yang dilayaninya itu merupakan korban kekerasan di selatan kota Maungdaw, dekat perbatasan Bangladesh, pada bulan Januari.
PBB mengatakan, setidaknya 40 Rohingya tewas di sana oleh pemeluk Buddha di desa itu. Pemerintah menyangkal adanya pembunuhan tersebut.
Serangan pada tanggal 26 dan 27 Maret terhadap LSM dan kantor PBB oleh massa yang marah oleh rumor seorang staf asing dari LSM lain, Malteser International, telah menodai bendera Buddhis, menyebabkan penarikan kelompok bantuan itu dalam memberikan bantuan kesehatan dan lainnya ke 140.000 etnis Rohingya yang tinggal di kamp-kamp, yang terlantar akibat kekerasan Buddhis – Muslim sejak 2012.
Dilaporkan Reuters, Senin (28/4/2014), pemerintah Myanmar berjanji membolehkan sebagian LSM kembali beroperasi penuh setelah berakhirnya perayaan Tahun Baru Buddha bulan ini.
Sejauh ini hanya distribusi makanan yang dilakukan Program Pangan Dunia yang telah kembali normal, dan tokoh masyarakat Rakhine di Pusat Koordinasi Darurat milik pemerintah telah memberlakukan prasyarat terhadap lembaga lain yang ingin kembali.
LSM akan diizinkan beroperasi jika mereka dapat menunjukkan “transparansi menyeluruh” dalam mengungkapkan rencana perjalanan mereka dan proyek-proyek yang akan dilakukan, serta tidak boleh memberikan dukungan kepada Rohingya, kata Than Tun, tokoh Rakhine yang menjadi anggota Pusat Koordinasi Darurat. Baik MSF-H atau Malteser sedang diizinkan kembali, katanya.
“Kamp Konsentrasi”
Dengan sebagian besar bantuan luar negeri yang tidak ada, upaya setiap hari untuk ‘mencegah’ kematian menjadi terhambat.
Tidak ada lagi orang di sana untuk melakukan sesuatu secara akurat. Sebelumnya rata-rata ada 10 rujukan medis darurat sehari, yang saat ini tidak ada lagi tersisa kelompok bantuan, kata Liviu Vedrasco, koordinator Organisasi Kesehatan Dunia.
Saat ini tidak mungkin untuk memperhitungkan berapa banyak orang yang bisa diselamatkan, kata Vedrasco. “Sudah tidak ideal lagi dibanding sebelum 27 Maret. LSM tidak bisa memberikan perawatan medis bintang lima. Tapi agaknya pemerintah mengisi kesenjangan itu.”
Tim medis pemerintah telah membuat kunjungan terbatas pada wilayah-wilayah yang dihuni Rohingya. Namun kelompok-kelompok bantuan asing mengatakan, upaya mereka tidak memadai. Pelayanan bantuan medis itu di bawah standar, jauh dari yang seharusnya diperoleh bagi orang-orang Rohingya yang sedang terbuang.
Di Kyein Ni Pyin, hampir 4.600 Rohingya hidup di bawah penjagaan polisi dan gerakan mereka dibatasi. Mereka diklasifikasikan oleh pemerintah sebagai imigran ilegal Bengali. Seorang pekerja bantuan asing menjelaskan kepada Reuters, daerah yang dihuni orang Rohingya itu sebagai “kamp konsentrasi”.
Elia merupakan salah satu dari delapan orang yang diberi pelatihan selama tujuh hari untuk membantu di klinik MSF-H , yang sekarang lokasinya kosong. Satu-satunya obat dia telah diberikan kepada Asoma. Juga terdapat beberapa yodium. Dokter pemerintah telah melakukan tiga kunjungan dengan masing-masing sekitar dua sampai tiga jam, katanya.
Delapan orang, termasuk enam bayi, telah meninggal sejak kelompok bantuan pergi, katanya. Malam sebelum kunjungan Reuters baru-baru ini, seorang wanita kehilangan bayinya saat melahirkan.
“Menolak Pengobatan”
Win Myaing, juru bicara pemerintah negara bagian Rakhine, menepis anggapan bahwa ada krisis kesehatan di kamp-kamp pengungsian.
“Ada sekelompok orang di salah satu kamp yang menunjukkan anak-anak sakit yang sama untuk siapa pun yang mengunjungi. Bahkan ketika pemerintah mengupayakan pengobatan, mereka menolak,” katanya.
Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara lain, telah meminta pemerintah mengizinkan kelompok bantuan kembali ke negara bagian Rakhine. Sejauh ini belum ada tanggapan.
Upaya masyarakat internasional terhadap pemerintah Myanmar untuk berbuat lebih banyak mengakhiri penganiayaan terhadap orang-orang Rohingya, hanya memperoleh respon sedikit. Mereka memandang Rohingya sebagai imigran ilegal dan bukan warga negara Myanmar.
Presiden AS Barack Obama, dalam kunjungan ke Malaysia, mengatakan pada hari Minggu, Myanmar tidak akan berhasil jika populasi Muslim minoritas ditindas .
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dia berniat mengunjungi Myanmar menjelang akhir tahun ini, ketika negara itu menjadi tuan rumah pertemuan puncak regional. Obama sedang berada di bawah tekanan dari kelompok-kelompok lobi untuk memperkeras kembali sanksi, yang telah melunak sejak berakhirnya kekuasaan militer pada tahun 2011.
Pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi, yang memimpin perjuangan untuk demokrasi saat militer berkuasa dan sekarang duduk di parlemen, telah menghadapi kecaman dari luar negeri untuk kegagalannya memperhatikan Rohingya.
Ternyata Lebih Buruk
Dalam kunjungan Reuters ke Kyein Ni Pyin, kamp terpencil, serta beberapa kamp dekat Sittwe, menemukan banyak gejala penyakit. Di suatu gubuk pengungsian, terdapat puluhan ibu-ibu menunjukkan anak-anaknya yang kurus. Tidak ada data untuk membandingkan tingkat malnutrisi ketika LSM dipaksa meninggalkan tempat itu.
Di sepanjang jalan utama yang ramai, di kamp Thae Chaung di luar kota Sittwe, ada warung bambu jerami yang menjual barang-barang secara terbatas obat telah menjadi klinik darurat.
Mohammad Elyas, 30 tahun, yang menjual obat di pasar Sittwe sebelum diusir oleh massa yang marah pada tahun 2012, menampilkan ijasahnya yang dilaminasi di dekat bagian depan, termasuk gelar dalam geologi dan sertifikat dalam pengobatan tradisional.
Obat-obatan secara sporadis dipasok oleh umat Budha Rakhine yang bersimpati di Sittwe, tetapi mereka bisa mengalami risiko retribusi dari komunitas mereka sendiri.
Setidaknya 20 sampai 30 orang setiap hari datang mencari pengobatan, kata Elyas. “Minggu demi minggu kondisinya semakin buruk.”
“Aku berusaha menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa, meskipun saya tidak memiliki kualifikasi yang tepat. Jika saya tidak melakukan pekerjaan ini, orang akan mati,” katanya.*