Hidayatullah.com–Ada sekitar 2 juta orang Indonesia yang bekerja di Malaysia. Mereka bekerja di berbagai level pekerjaan. Ada yang jadi buruh di pabrik dan pembantu rumah tangga. Ada pula yang bekerja pada level profesional seperti dosen dan penceramah. Salah satu yang menjadi dosen itu adalah Dr Syamsudin Arif.
Pria kelahiran Jakarta 41 tahun lalu ini kini mengajar di universitas Islam terbesar di Asia Tenggara, Universitas Islam Antar Bangsa (UIA), pada jurusan studi Islam. Wartawan ini bertemu dengannya di ruang kerjanya di kampus UIA, di kawasan Gobak.
Syamsudin, demikian panggilan akrabnya, saat itu banyak bercerita tentang perkembangan dan budaya kerja di kampusnya. Setidaknya ada dua alasan kalau kemudian ia memilih UIA sebagai tempat mengajar.
Pertama, budaya ilmu. Masing-masing dosen di sini dipacu untuk mengembangkan ilmunya. Salah satu caranya dengan menyediakan dana penelitian yang kata Syamsudin tak terbatas. “Minimal dalam setahun dosen harus menghabiskan dana 10 ribu RM (Rp 29 juta).
Kedua, penghargaan kepada dosen jauh lebih baik daripada di Indonesia. Ayah empat anak itu menggambarkan, doktor yang baru masuk bisa membawa pulang gaji kotor sekitar Rp 20 juta.
“Karena gajinya cukup, di sini dosen tak boleh nyambi di tempat lain,” katanya. Ini tentu berbeda dengan Indonesia. Seorang dosen bisa mengajar di berbagai tempat.
Selain Syamsudin, ada banyak orang Indonesia yang mengajar di UIA. Untuk menyebut beberapa nama misalnya, Asisten Prof Dr Ani Thoha dan Prof Dr Sobirin Sholihin. Keduanya mengajar di studi Islam.
Wartawan media ini juga sempat bertemu dengan dosen muda asal Indonesia. Doktor teknik elektro lulusan Jerman itu baru masuk tahun lalun. Ketika ditanya mengapa tidak melamar ke ITB, pria kelahiran Bandung itu cepat menukas, “Nggak ah! Saya sudah tahu ITB. Tidak menjamin,”
Kembali pada Syamsudin, ia menjadi dosen di UIA lima tahun lalu. Sebelumnya, jenjang pendidikan kesarjanaan pria yang menjadi peneliti di Insists ini hampir semuanya di tempuh di Malaysia.
Program S1 ia tempuh di UIA pada 1996, lalu master dan doktornya ia selesaikan di ISTAC (International Institute of Thought and Civilization). Belum puas hanya di situ. Untuk yang kedua kalinya ia mengambil program doktor. Tapi kali ini ia langsung masuk ke jantungnya orientalis di Jerman. Tepatnya di Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt. Lulus dari Jerman, ia melanjutkan ‘pengabdiannya’ di UIA hingga kini.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Di Indonesia lulusan KMI Gontor 1989 ini dikenal sebagai intelektual yang melawan pemikiran-pemikiran liberal. Salah satu bukunya yang menarik adalah Diabolisme Intelektual (intelektual iblis). Buku ini sudah beredar luas di Indonesia sejak beberapa tahun lalu.*/Bambang S, Kuala Lumpur