Hidayatullah.com–Karpet merah tidak digelar untuk menyambut Dries van Agt setibanya di Bandara Ben-Gurion, Israel. Penyebabnya Perdana Menteri Belanda pada tahun 1977-1982 ini sekarang dikenal sebagai salah satu pengkritik berat terhadap Israel.
Kunjungan ini, tidak seperti kunjungannya dulu, bertujuan menyatakan dukungannya bagi rakyat Palestina di bawah pendudukan dan memberikan dorongan ke proses perdamaian dengan Israel.
Dalam satu artikel yang dimuat Haaretz, Selasa (8/3), Van Agt adalah salah satu dari 26 tokoh Eropa yang menyerukan kepada Uni Eropa pada bulan Desember lalu untuk pengakuan atas negara Palestina, yang mencakup area 100 persen atas wilayah yang diduduki Israel pada tahun 1967 dengan ibukota Al Quds Timur (Jerusalem Timur).
Penandatangan termasuk mantan Kepala Urusan Pertahanan dan Luar Negeri Uni Eropa, Javier Solana, dan para mantan pemimpin Jerman, Spanyol, Italia, dan Irlandia.
Para mantan pemimpin itu mendesak Kepala Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Luar Negeri dan Keamanan Catherine Ashton mengambil peran aktif untuk mencairkan perundingan dan membekukan pembangunan permukiman Israel di wilayah Palestina.
Mereka pun menyatakan bahwa para tokoh kunci Amerika mengisyaratkan kepada mereka bahwa cara terbaik untuk membantu Presiden AS Barack Obama memajukan proses perdamaian adalah membuat Israel membayar “harga” untuk kebijakannya yang bertentangan dengan keinginan Amerika Serikat.
Harga tersebut diwujudlkan dalam bentuk pengakuan Uni Eropa atas negara Palestina di wilayah sebelum tahun 1967, sebagaimana pengakuan yang telah dilakukan oleh beberapa negara Amerika Selatan.
Kamis (3/3) lalu, sesaat sebelum berbicara kepada rakyat Palestina di Betlehem dan sebelum lepas landas untuk terbang kembali ke Amsterdam, van Agt, memberi gambaran tentang Uni Eropa yang putus harapan atas penyelesaian konflik Palestina-Israel.
Tokoh berusia 80 tahun itu mengatakan, dalam percakapan telepon antara Kanselir Jerman Angela Merkel dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menunjukkan Uni Eropa telah terbangun dari mimpi kemungkinan pemimpin Israel akan berubah.
Van Agt pun menceritakan tentang pertanyaan seorang anggota Parlemen Inggris kepada Perdana Menteri Inggris David Cameron, apakah Netanyahu menelepon London ketika Inggris di PBB memberikan suara mengutuk permukiman, Cameron mengatakan, ia tidak dihubungi.
Tetapi Netanyahu telah menyampaikan keluhan padanya, apakah ia (Israel) nantinya akan mendapat balasan yang sama seperti ketika mendapatkan dari Berlin (maksudnya, apakah akan ada lagi Holocaust jilid kedua bagi orang-orang Yahudi).
“Sebagian besar pemimpin Eropa, terutama dari negara-negara besar semacam Prancis, Inggris, dan Jerman – telah menyatukan perasaannya untuk tidak lagi bisa mempercayai Netanyahu,” kata van Agt. “Dia telah menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan oleh Eropa, setelah pidatonya di (Universitas) Bar-Ilan, dan mengubahnya menjadi kata-kata kosong.”
Namun, van Agt mengharapkan negara Eropa untuk bergabung dengan negara-negara Amerika Selatan, mengikuti Norwegia, yang bukan anggota Uni Eropa. Dia mengatakan, sangat percaya Spanyol akan menjadi negara Uni Eropa pertama yang mengikuti jejak (Perjanjian) Oslo.
Tapi dia tidak memberi harapan banyak untuk terjadinya efek domino. Negarawan Belanda ini, yang percaya Eropa punya beban khusus kepada orang-orang Palestina karena mereka adalah korban dari korbannya Holocaust, tidak percaya jalan keluar akan datang dari Eropa.
“Uni Eropa adalah segalanya, tapi harus utuh,” katanya.
Dia menyebut negara-negara dari Eropa Tengah telah menjadi “budak” Amerika Serikat. Negara-negara itu akan melaksanakan perintah guna menggagalkan sebuah konsensus yang dihasilkan Uni Eropa untuk mengakui negara Palestina di PBB pada September mendatang.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Hambatan tertinggi, kata van Agt, juga berasal dari negara asalnya Belanda. “Kombinasi dari perasaan bersalah (terhadap Palestina) dan Islamophobia yang dibuat politisi Belanda, telah menjadi perlindungan bagi Israel di Eropa.
Sebagai bukti, tidak utuhnya suara di parlemen Belanda untuk resolusi terhadap pemukiman ilegal, pada malam penentuan resolusi pemukiman ilegal di PBB. Sementara seluruh duta besar Eropa di Dewan Keamanan mendukung resolusi.
Parlemen Belanda justru menyerukan kepada Uni Eropa untuk menentang pengakuan negara Palestina. Dan Palestina dituntut untuk kembali ke meja perundingan guna mewujudkan resolusi konflik, dengan mengakui negara Yahudi. Tidak sepatah kata pun Belanda menyebutkan resolusi tentang permukiman.
“Tidak heran kemudian tidak kurang dari 20 diplomat Israel bersaing untuk merebut posisi duta besar ke Den Haag,” katanya.*
Keterangan foto: Perdana Menteri Benyamin Netanyahu.