Hidayatullah.com–Banyak di antara para pemuda Muslim Washington baru memasuki sekolah menengah atas tak lama setelah peristiwa 11 September 2001 terjadi. Sekarang 8 tahun kemudian, mereka sudah lulus perguruan tinggi dan memilih jalan hidupnya sendiri. Para pemuda itu adalah bagian dari generasi yang berbeda dengan orangtuanya dalam hal memilih karier, asimilasi, dan pandangan terhadap agama mereka.
Masa muda mereka dirusak dengan kecurigaan dan kecemasan orang Amerika terhadap Islam. Mereka berjuang bagaimana menjalani hidup dalam tuntunan agamanya, bagaimana berpakaian hingga dengan siapa akan berkencan, di dalam lingkungan masyarakat Amerika yang sering memandang mereka dengan penuh curiga.
Lembaga survei dan peneliti mulai mengkaji kelompok anak muda ini, yang hampir 3/4-nya adalah generasi pertama atau kedua di Amerika. Salah satu topik besar yang dikaji, menurut Althaf Husain, adalah tentang keprihatinan mereka atas Islam yang dipandang berbahaya.
“Ada kelompok silent majority di antara para pemuda Muslim yang berkata: ‘Saya tidak akan menjadi juru bicara bagi agama saya. Saya tidak mampu untuk itu. Saya hanya akan menjadi relijius dalam kehidupan pribadi saja’,” kata Husain, seorang aktivis dan pekerja sosial populer yang menulis tentang pemuda-pemuda Muslim dan berbicara di kampus-kampus.
Banyak dari orang tua mereka dulu datang ke AS untuk belajar teknik, kedokteran, dan sains. Namun, banyak di antara generasi sekarang yang tertarik terjun ke politik, jurnalisme, dan pelayanan publik. Demikian menurut penelitian. Kejadian 11 September dan kebijakan ‘melawan terorisme’ pemerintah Bush, memotivasi mereka di usia mudanya untuk memilih kebijakan yang baru dibuat pemerintah, yaitu pelatihan dan beasiswa dari lembaga pemerintah dan sektor swasta.
“Kami menyadari kami tidak punya suara yang kami perlukan di kancah politik Amerika,” kata Nadia Sheik, 22, yang baru lulus dari Universitas George Washington dan berharap bisa sekolah lagi di bidang hukum. Dia belum lupa bagaimana agen-agen FBI mendatangi rumahnya di Portland, Oregon, tahun 2003 untuk menanyai keluarga mereka, setelah ia dan adiknya yang berusia 8 tahun serta ayahnya yang kelahiran Pakistan, diamati ketika mereka memotret pemandangan di daerahnya untuk keperluan pelajaran sekolah.
Sufia Alnoor mengatakan, ia ingin memiliki karier yang memungkinkan dirinya mengamalkan ajaran agamanya. Meskipun ibunya ingin agar ia menjadi dokter atau pengacara, ia ingin memanfaatkan ilmu komunikasi yang didapatnya dari Universitas George Mason untuk bekerja di bidang bantuan internasional atau lingkungan. Gadis 22 tahun asal West Springfield ini merasa resah dengan pesan-pesan yang diterima anak-anak Muslim.
“Kami diajarkan untuk merawat orang tua, tidak makan banyak daging, dan nilai-nilai dalam Islam,” kata Alnoor yang masih suka berpakaian gaul — ikat kepala berwarna warni dan kaos Power Rangers— di bawah kerudung dan baju longgarnya yang ia pakai jika keluar rumah atau bertemu dengan laki-laki bukan keluarganya.
Anak-anak Muslim zaman sekarang diajarkan untuk bersikap defensif, tidak menonton televisi, dan harus tahan terhadap penolakan dari budaya dominan di sekitar, demikian katanya.
Lebih lanjut Alnoor berpendapat, pemahaman yang lebih luas terhadap Islam akan didapat hanya dengan melakukan pekerjaan yang membantu orang lain. Perbuatan nyata lebih berarti dari sekadar kata-kata.
Lembaga riset Pew menemukan bahwa para pemuda Islam lebih relijius daripada orang tuanya. Dan hasil poling Gallup mengatakan bahwa para pemuda itu merasa, pertama, sebagai Muslim, baru kemudian sebagai orang Amerika. Banyak di antara mereka menyatakan berusaha menunjukkan apa artinya menjadi seorang Muslim.
Satu hal yang bisa menunjukkan hal itu adalah, trend dalam berkencan. Peneliti mengatakan bahwa mereka berusaha untuk mengkombinasikan tradisi Islam yang ketat menyangkut masalah kencan dengan budaya masyarakat Amerika yang sangat ingin mengetahui segala hal tentang pasangannya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Tidak ada tempat untuk bereksplorasi dalam hal itu. Kita tidak tahu ke mana arah tujuannya,” kata Nadia El-Hillal, 22, lulusan Universitas Maryland.
Alejandro Beutel, 24, seorang mualaf yang sedang menempuh gelar master bidang kebijakan publik di Universitas Maryland mengatakan bahwa masjid-masjid dan komunitas sekolah harus menciptakan sebuah model, cara bagaimana orang-orang muda bisa bertemu–semacam model kombinasi antara cara-cara lama dan baru.
Salah satu trend, yang ia lakukan juga, adalah pertemuan lintas suku dan ras. Baru-baru ini, katanya, ia dan tunangannya (yang orang tuanya berasal dari Afganistan) pergi makan malam di jalan U bersama empat pasangan Muslim lainnya, semuarnya berbaur. Ia menyebutnya dengan “trippy”.
“Meskipun itu hal yang positif, tapi bisa jadi sangat sulit,” katanya. “Kita memisahkan agama dari kebudayaan,” kata Beutel. [wp/di/hidayatullah.com]
Foto muslimah AS dan gaya hidup ABG Muslim Amerika