Hidayatullah.com—Hari ini, mungkin suatu tonggak bersejarah bagi seseorang. Tetapi untuk dua wanita ini, Esti Ilan dan Hanan Abu Latif, juga rakyat Palestina yang lain, ini adalah suatu momen untuk mencerminkan harapan hidup mereka.
Esti Ilan masih ingat, ketika ibu bercerita, tatkala itu, tanggal Juni 5 1967. Bagaimana dirinya diperlakukan bak “raja”. ketika tiba di sebuah rumah sakit bersalin di Tel Aviv. Saat kelahirannya itu, suasana diliputi baku tembak antara tentara Arab dan Israel.
Hanan Abu Latif masih ingat, dia melewatkan sedikit saja dari hari-harinya yang indah saat berlindung di rumpun zaitun di luar kota Yerusalem, di dekat kamp pengungsi Palestina di mana dia dilahirkan.
Lembaran hidupnya yang indah itu kemudian hilang bersamaan datangnya ”Perang Enam Hari” yang kemudian berakhir dengan pencaplokan Semenanjung Sinai, Dataran Tinggi Golan dan Tepi Barat serta Jerusalem Timur oleh Israel.
Empatpuluh tahun kemudian. Sebagaimana konflik terus dilalaui kedua wanita ini, menjadi pemandangan muram atas prospek damai bagi anak-anak mereka.
"Saya belum pernah mendapat kesenangan apapun di hari ulang tahun saya," katanya, saat mengurus ibunya yang telah cacat dan tujuh orang anak-anaknya di kamp pengungsian Qalandiya di luar Ramallah.
Bagi Hana dan Esti, Yahudi dan Israel, telah menghancurkan kehidupan mereka nan indah. Kebenciannya, terus hinggap bersama hari-harinya yang kini tidak menentu.
"Saya hanya melihat tentara Israel kalau mereka sedang menhan seseorang atau saat berada di pos pemeriksaan," katanya dengan senyum kepasrahan. "Mereka berpikir bahwa dengan menangkap kami mereka bisa mengintimidasi kami. Tetapi patriotisme dan kebencian kami justru akan bertambah."
Suatu saat, tepatnya tahun 1990, tatkala disepakati perjanjian damai, namun, harapan yang pernah ia impikan itu punah bersamaan aksi kekerasan Israel. Harapan dan impiannya untuk hidup indah hanyalah famamorgana. "Nampaknya sepertinya tidak pernah-berakhir," kata Esti, seolah kehilangan keyakinan.
Meski demikian, Hanan dan Esti tetap berharap ada kata damai. Khususnya terhadap Israel yang telah merampas tanah dan negara yang mereka cintai.
"Mereka tidak ingin damai," mereka takut,” ujar Hanan agak skeptis terhadap niat Israel. "Aku berharap kita semua bisa tinggal secara damai dalam kebebasan… Tidak ada apapun yang lebih baik dibanding tinggal di negeri milik mu di atas tanahmu sendiri."
Penderitaan Abadi
Baru-baru ini, lembaga HAM internasional, Amnesty International (AI), mengeluarkan laporan terbaru bertepatan dengan 40 tahun pendudukan Israel di Palestina. Laporan dengan judul ”Pendudukan Abadi” antara lain menyoroti pembangunan tembok penghalang di Tepi Barat. Proyek itu mengakibatkan kematian dan penderitaan tak terperi di kalangan warga Palestina. Karena itu, tembok-tembok penghalang tersebut harus segera diruntuhkan.
Kelompok pembela HAM itu mengingatkan bahwa jika proyek tersebut dilanjutkan, konflik Palestina-Israel akan terus berlanjut.
Direktur Amnesty International Inggris Kate Allen menegaskan, Israel tidak bisa terus-menerus melanggar hukum internasional dengan alasan untuk melindungi kepentingan keamanannya. Israel juga tidak bisa terus- menerus menghukum secara kolektif ribuan warga Palestina.
Sejauh ini, Israel sadar bahwa proyek pembangunan tembok pemisah itu dianggap tidak sah oleh Pengadilan Internasional untuk Keadilan karena proyek tersebut melintasi daerah pendudukan. Namun, Israel tetap membangun tembok itu dengan alasan untuk menghentikan serangan bunuh diri warga Palestina yang masuk ke kota-kota Israel.
Selain itu, Israel beralasan tembok tersebut dapat dirobohkan jika ada perjanjian damai antara Israel dan Palestina.
Laporan bertajuk "Pendudukan Abadi—Bangsa Palestina Terkepung di Tepi Barat" itu juga mengecam kebijakan pos pemeriksaan Israel dan tembok pemisah yang membentang sejauh 350 kilometer dan akan direncanakan sejauh 720 kilometer.
Akibat ulah Israel mengepung 12 desa di Tepi Barat yang dihuni oleh 31.400 penduduk dengan tembok, mengakibatkan ekonomi Palestina hancur akibat pembatasan. Selain itu muncul pula perasaan putus asa di kalangan anak muda.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
***
Sebagaimana diketahui, Israel menduduki Palestina sejak menang Perang Arab tahun 1967. Sejak saat itu, Israel mengontrol kehidupan 3,5 juta warga Palestina di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem timur.
Selama 40 tahun pendudukan, hampir tak terhitung jumlah korban tewas. Sejak pemberontakan Palestina tahun 2000 hingga sekarang, diperkirakan 4.330 warga Palestina dan 1.111 warga Israel tewas.
Menurut Amnesty International, selama 40 tahun masyarakat internasional gagal menciptakan perdamaian. "Selama 40 tahun, komunitas internasional gagal mengatasi masalah Palestina-Israel. (Kita) tidak perlu dan tidak bisa menunggu 40 tahun lagi untuk mengatasi masalah ini," kata Direktur Regional Amnesty International Malcolm Smart.
Barangkali, impian hidup indah tanpa tekanan dan suara desing peluru adalah khayalan yang tak akan pernah terwujud bagi bangsa Palestina. Dan andaikan itu benar terjadi, Esti dan Alan sudah siap menerima suratan takdir yang menyedihkan itu.
Jika ia masih boleh berandai-andai, satu harapannya, setidaknya ia bisa merasakan agar anak-cucu nya bisa berkesempatan hidup indah. "Saya berharap anak saya menjalani hidup yang lebih baik tetapi kejadian sekarang ini menyiratkan tak ada tanda-tanda terjadi, " katanya dikutip Middle East Online. [cha, dari berbagai sumber/hidayatullah.com]