Hidayatullah.com–Orang Amerika Serikat (AS) yang biasa memelesetkan apa saja, termasuk agama dan Tuhan, ternyata bisa kaget ketika nama Gedung Putih dijadikan identitas sebuah rumah pelacuran di Selandia Baru. Kedubes AS pun bereaksi.
Meskipun pernah terjadi skandal seks di Gedung Putih, tentu kediaman presiden AS itu bukan rumah bordil. Karena itu, orang sempat bertanya-tanya ketika Gedung Putih memasang iklan di koran Selandia Baru untuk mencari pelacur.
“Dicari wanita untuk shift malam dan siang,” demikian iklan yang dipasang White House. “Fantastis uangnya, fantastis stafnya, fantastis kondisinya,” goda iklan itu lagi. Yang menarik, di kop iklan itu terdapat lambang seekor elang botak Amerika menggigit pita dan memegang panah perang serta kakinya mencengkeram ranting pohon zaitun. Itu sekilas mirip sekali dengan lambang kepresidenan AS.
Perbedaan antara simbol kepresidenan AS dan logo iklan itu hanyalah pada kata-kata E pluribus unum (Beraneka, tapi tetap satu) yang biasanya berada di atas kepala elang simbol kepresidenan AS. Dalam iklan itu, kata-katanya diganti dengan New Zealand.
Tak jelas apakah cewek-cewek di atas 18 tahun yang diincar rumah bordil tersebut banyak yang merespons. Yang jelas, Kedutaan Besar AS di Selandia Baru sangat “tertarik” dengan iklan itu. Mereka, atas nama pemerintah AS tentunya, mengirimkan surat kekecewaan ke Gedung Putih di Auckland, kota terbesar kedua di Selandia Baru.
“Kami telah mengirimkan surat ke perusahaan yang memasang iklan itu, mengenai kekecewaan kami terhadap simbol yang mereka pilih dalam iklan itu,” kata Janine Burns, juru bicara Kedutaan Besar AS di ibu kota Selandia Baru, Wellington, kepada koran The Sunday Star-Times.
Tak lupa, kedubes negera adidaya itu juga menyebut rumah bordil tersebut telah melakukan tindakan tercela. “Kami sangat menyayangkan hal itu. Kemiripan simbol pemerintahan suatu negara dengan simbol-simbol komersial adalah suatu tindakan yang berselera buruk,” kata Burns.
Namun, pihak bordil Gedung Putih tenang-tenang saja. Scott McGregor, general manager rumah maksiat itu, menyatakan bahwa penggunaan logo dan nama itu telah berlangsung lebih dari dua tahun. “Itu adalah simbol yang sangat universal. Saya tidak melihat bahwa mereka (AS) memiliki hak khusus terhadap simbol itu,” kilahnya.
Rumah pelacuran itu tetap akan memakai simbol itu sebelum AS melakukan tindakan hukum. “Sampai saat ini tidak ada tindakan yang dilakukan kedutaan besar kepada kami,” kata Scott.
Namun, Scott mengisyaratkan siap akan mengubah simbol itu jika nanti pihak kedutaan besar serius mempermasalahkan hal itu. Tak jelas mengapa dia mau mengalah. Padahal, kecil kemungkinan rumah pelacurannya akan dilumatkan seperti Iraq.
Yang jelas, polemik iklan Gedung Putih itu merupakan ekses dari legalisasi pelacuran di Selandia Baru. Sejak 26 Juni lalu, negara di selatan Australia tersebut melindungi secara hukum kegiatan “penyewaan” wanita. Legalisasi itu disahkan parlemen dengan selisih tipis, 60 setuju dan 59 menentang. Beriklan pun dilindungi hukum kecuali pada media radio, TV, dan bioskop.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Tetapi, perlindungan itu tidak berlaku untuk kemaksiatan jenis lain: madat. Polisi berwenang menutup rumah pelacuran bila didapati di dalamnya menjadi ajang transaksi narkoba.
Dengan legalisasi itu, rumah-rumah pelacuran pun saling bersaing mempercantik layanan. Brian Le Gros, pemiliki rumah prostitusi Gedung Putih, menyatakan bahwa untuk membangun bisnis prostitusinya itu, dirinya menghabiskan dana USD 5 juta lebih (sekitar Rp 45 miliar). Selain rumah bordil di Queen Street, dia memiliki rumah bordil di Tahiti.
Karena investasi yang mahal itu, pemakaian simbol yang menarik ikut menjadi jaminan modal cepat kembali. Pemakaian nama Gedung Putih, rupanya, telah membawa hoki. Buktinya, rumah bordil itu mencari pelacur-pelacur baru. (jp/tsst)