Hidayatullah.com- Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, Dr Nashirul Haq, mengingatkan bahwa dakwah harus diorganisasi dengan manajemen sedemikian rupa agar efektif.
Dalam taushiahnya yang disampaikan secara live streaming dari Jakarta dan saksikan 34 dai wisudawan beserta hadirin di Bogor, Nashirul Haq mewasiatkan hikmah yang terkandung di dalam al-Qur’an Surat Yusuf ayat 108.
Ayat ini mengenai wajibnya berdakwah menyeru kepada agama Allah Ta’ala bagi orang Mukmin yang mengikuti Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
قُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.
Nashirul mengimbuhkan, dalam ayat al-Qur’an tersebut kita diperintahkan untuk menyatakan kepercayaan kita bahwa Islam adalah jalan perjuangan kita, keyakinan kita, dan dengan itu kita mengajak manusia untuk menghambakan diri kepada Allah.
“Namun kita diingatkan agar berdakwah dengan bashirah. Bahwa dakwah harus disampaikan dengan hujjah, dengan ilmu, tidak asal dakwah. Bashirah di sini termasuk pemahaman dai terhadap ajaran Islam, Qur’an dan Sunnah, secara baik dengan benar,” katanya, memberikan tausyiah pengarahan pada acara wisuda dan penugasan Sekolah Dai Hidayatullah Ciomas, Bogor, Jawa Barat, angkatan V (10/05/2020) yang digelar PosDai.
Kemudian, dia melanjutkan, makna bashirah yang kedua adalah memahami manhaj atau metode (thariqah) dakwah karena berdakwah harus benar cara dan metodenya.
“Sehingga dari sisi konten, kandungan materi benar, kemudian juga caranya, uslub-nya, metodenya juga benar,” katanya.
Masih dalam lanjutan ayat tersebut, Nashirul mengemukakan makna dari frasa ana wa manittaba’anī. Dia menjelaskan, makna dari lafadz tersebut adalah seruan kepada Nabi Muhammad untuk memproklamirkan bahwa “jalan dakwah adalah jalanku dan jalan orang yang mengikutinya”.
“Artinya, dakwah akan efektif dan berpengaruh kepada umat dan memiliki kekuatan manakala ada tanzim. Ada kepemimpinan. Harus ada manajemen, ada organisasi, karena kita lemah penuh dengan keterbatasan sehingga harus berjamaah, bersama-sama mengemban dakwah. Begitulah Rasulullah menjalankan dakwah ini secara jama’i bersama dengan Sahabat-Sahabatnya,” kata Nashirul.
Kembali kepada makna bashirah. Nashirul menerangkan, bahwa selain konten, berdakwah pun caranya harus benar dan metode ini adalah dakwah sistematis yang di Hidayatullah dikenal dengan merujuk pada tartib nuzuli atau sesuai tertib turunnya wahyu al-Qur’an.
Metode dakwah sistematis ini sebagaimana sesuai urutan turunnya wahyu al-Qur’an (tartib nuzuli) adalah dimulai dari yang paling prinsip yaitu pembinaan aqidah tauhid, seperti termaktub di dalam surat pertama kali turun yakni al-‘Alaq: 1-5. Di sini menderivasikan makna bahwasanya dakwah harus mengutamakan hal yang pokok (ushul) terlebih dahulu ketimbang yang usuhul (cabang).
“Ketiba Nabi mengutus Sahabat berdakwah seperti saat mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman, Nabi berpesan mengingatkan bahwa yang pertama kali disampaikan kepada umat adalah syahadat. Kalau mereka sudah bertauhid, barulah disampaikan bahwa Allah mewajibkan shalat 5 waktu, zakat, puasa, dan lain sebagainya,” kata Nashirul menjelaskan.
Setelah al-‘Alaq atau tauhid-nya sudah mantap, baru masuk ke rangkaian metodologi yang kedua yaitu Surat al-Qalam: 1-7, yang mengandung pesan berpikir (worldview) dan berprilaku secara Islami.
“Akhlak dan cara berpikir ini adalah buah dari sebuah keyakinan tauhid. Jika keyakinan tauhid kokoh, maka cara perilakunya adalah nilai-nilai tauhid,” ujarnya.
Kemudian tahapan dakwah selanjutnya adalah Surat al-Muzzammil 1-10 yang merupakan surat ketiga turun kepada Nabi. Nashirul menjelaskan, setelah aqidah sudah tertanam kokoh, akhlak telah terbentuk sesuai dengan ajaran al-Qur’an, maka kualitas ruhiyah harus ditingkatkan melalui 6 amalan di dalam Surat al-Muzammil. Yaitu shalat lail, meresapi al-Qur’an, dzikir, sabar, tawakkal, dan hijrah untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Jika kualitas aqidah, akhlak, dan ruhiyah, sudah baik, maka otomatis seseorang akan memiliki rasa tanggung jawab dan keterpanggilan untuk menyebarkan risalah Islam, sebagaimana spirit dalam Surat al-Mudatsir ayat 1-7 yang pertama-tama menyeru kepada “orang yang berselimut” untuk membesarkan Allah yang kelak membawa kejayaan yaitu dinul Islam.
“Para dai harus membersihkan pakaiannya secara lahir dan batin, pikiran juga harus disucikan. Sucikan diri, pakaian dan lingkungan, karena kesucian bagian dari keimanan. Sebagai pembawa risalah, dia harus meninggalkan dosa. Dai adalah panutan dan pemimpin umat,” katanya.
Nashirul pula mengingatkan bahwa di jalan dakwah banyak godaan, tidak sedikit iming-iming yang sering diperhadapkan. Sehingga seringkali niat terganggu untuk motivasi dunia.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Maka, tegas dia, janganlah menyampaikan dakwah dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu yang sifatnya materiil, karena Allah telah memberi pahala untuk kehidupan di akhirat kelak.
“Jalan dakwah ini kita akan menghadapi banyak tantangan dan rintangan dari orang-orang yang menolak dakwah bahkan bisa jadi dari kalangan kerabat kita sendiri. Ada caci maki, kedzaliman, perlakuan kasar. Kuncinya adalah sabar. Nabi pun mengalami hal serupa tapi mereka bersabar,” imbuhnya.
Kemudian rangkaian metodologi dakwah yang terakhir adalah muatan Surat al-Fatihah sebagai intisari al-Qur’an. Nashirul mengatakan, ajaran Islam adalah merupakan sistem kehidupan (manhajul hayat) dan inti dari ajaran Islam sudah terkandung dalam Surat al-Fatihah ini.
“Al-Fatihah adalah sebagai intisari al-Qur’an, maka al-Fatihah adalah bingkai dari seluruh aspek kehidupan dalam Islam yang kita istilahkan dengan peradaban Islam,” ujarnya.
Peradaban Islam sebagaimana dipahami Hidayatullah adalah manifestasi iman di dalam seluruh aspek kehidupan manusia untuk menjalankan dua fungsi kita, yaitu hirasatuddin, yakni bagaimana memastikan bahwa umat ini selalu berpegang teguh pada ajaran Allah Subhanahu Wata’ala sehingga kehidupan ini ditata dengan kehendak Allah Subhanahu Wata’ala.
Dan, fungsi kedua, siasatuddunya, yakni bagaimana kehidupan ini bisa diatur sedemikian rupa dalam rangka kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia sehingga pada akhirnya manusia meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
“Selamat bertugas, selamat berjuang. Yakinilah, bahwa orang orang yang menolong agama Allah akan mendapatkan pertolongan dari-Nya,” pungkasnya berpesan kepada para dai.* (Kiriman Ainuddin Chalik)