Hidayatullah.com–Ada tiga tantangan studi sejarah di Indonesia, yang semuanya telah menyebabkan umat Islam kehilangan rasa bangga pada Islam.
Tiga tantangan itu adalah sekulerisasi, de-islamisasi dan nativikasi. Demikian disampaikan pakar sejarah dan penulis buku, Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum, dalam workshop bertema “Perspektif Islam dalam Pengajaran Sejarah Indonesia” hari Sabtu, 7 November 2015 di Ma’had Aly Imam Al-Ghazali Surakarta.
Menurut bachtiar, sekularisasi adalah pemisahan sejarah dari intervensi Ilahiah. Sedang de-Islamisasi, yaitu upaya menyingkirkan peran Islam dan umat Islam dari panggung sejarah Indonesia. Ketiga, nativisasi, berupa upaya menjadikan agama lain dan sebagai basis peradaban Indonesia dan menghilangkan peran agama Islam.
Ketiga tantangan ini diakui atau tidak telah cukup berhasil menjauhkan anak-anak umat Islam dari perasaan kebanggaan kepada Islam sebagai semangat sejarah bangsa.
Sekulerisasi dalam studi sejarah, dapat dilihat misalnya pada pembahasan tentang asal-usul manusia.
“Dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa asal-usul manusia adalah kera. Konon kabarnya telah ditemukan fosil manusia purba di Sangiran. Fosil ini lalu direkonstruksi, dilukis sedemikian rupa seperti kera, lalu diklaim sebagai nenek moyang bangsa Indonesia,” ujar penulis buku “Hamas, Kenapa Dibenci Israel?” ini.
Ini tentu bertentangan dengan Islam. Sebab umat Islam meyakini, bahwa manusia pertama adalah Nabi Adam. Teori manusia purba seperti ini tentu saja ingin menyatakan bahwa manusia itu tidak diciptakan, melainkan bermula dari kera, lalu beradaptasi, hingga akhirnya menjadi manusia.
Padahal, lanjut Tiar, secara ilmiah, sama sekali tidak dapat dibuktikan bahwa manusia benar-benar berasal dari kera.
Tiar lalu menunjukkan fakta-fakta ilmiah yang menggugurkan klaim kera sebagai nenek moyang manusia.
Adapun de-Islamisasi, misalnya diupayakan dengan memalsukan sejarah Majapahit.
Dalam buku-buku pelajaran sejarah disebutkan bahwa Majapahit telah pernah berhasil menyatukan Nusantara. Konon, kekuasaan Majapahit bukan hanya meliputi wilayah territorial Indonesia saat ini, melainkan sampai ke Campa atau Vietnam.
“Jangankan sampai ke Vietnam, kerajaan yang paling dekat dengannya saja tidak mampu ia taklukkan, yaitu Kerajaan Pasundan di Jawa Barat,” bantah penulis buku Sejarah Nasional Indonesia Perspektif Baru ini.
Masih tentang Majapahit, upaya de-Islamisasi sangat terasa ketika kerajaan-kerajaan Islam dituduh sebagai penyebab keruntuhannya.
Dr. Tiar menunjukkan kutipan beberapa buku ajar tingkat SMP yang menuduh kerajaan-kerajaan Islam sebagai biang keladi kejatuhan Kerajaan Majapahit. Padahal menurutnya, kejatuhan Majapahit disebabkan kerusakan di dalam kerajaan sendiri.
Adapun berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di pesisir pantai utara Jawa seperti Demak, Gresik, dan Tuban, ialah karena pesatnya da’wah Islam. Kerajaan ini berdiri setelah melemahnya Kerajaan Majapahit.
“Jadi pertama, Majapahit telah menyatukan Nusantara. Kedua, kerajaan-Kerajaan Islam meruntuhkan Majapahit. Maka kesannya ialah, kerajaan-kerajaan Islam menghancurkan Nusantara yang telah disatukan majapahit. Jadi, Islam adalah perusuh. Itu kesan yang ingin dibuat,” tegas Tiar.
Tentang nativisasi, Tiar mencontohkan beberapa buku ajar yang memuat candi-candi sebagai simbol peradaban asli bangsa Indonesia, seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
“Bentuk stupanya seperti milik umat Budha, tapi di sekelilingnya seperti milik umat Hindu. Jadi Borobudur ini Hindu atau Budha? Baik umat Budha maupun Hindu tidak menggunakan candi ini.
Yang memakmurkan justru orang Islam. Nah, lihat, betapa baiknya umat Islam, bukan hanya masjid dimakmurkan, candi juga,” demikian canda Tiar disambut gelak tawa hadirin.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Padahal candi ini sudah lama ditinggalkan rakyat. Rakyat sekitar candi justru Muslim. Lalu siapa yang menghidupkan kembali candi Borobudur? Dialah Thomas Stanford Raffles. Ia seorang orientalis yang berupaya mengangkat kembali peninggalan-peninggalan masa lampau yang sebenarnya sudah lama terkubur karena rakyat sudah menjadi Muslim,” tandas Tiar.
Kegiatan yang diselenggarakan bekerja sama dengan Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) dihadiri sekitar 30 peserta dari berbagai kota; Salatiga, Solo, Semarang, Cianjur, dan yang terjauh dari Surabaya.
Ketua PSPI, Arif Wibowo, MPI mengatakan, workshop akan dilaksanakan setiap bulan. Topik-topik yang dipilih sesuai bidang kajian Ma’had Ali Al-Ghazali, yaitu pendidikan dan peradaban.
Bulan sebelumnya, tanggal 3 Oktober, Ma’had telah mengadakan kegiatan serupa dengan topik, “Metodologi Pembelajaran Sirah” yang dibawakan oleh Ustadz Asep Sobari, Lc, pendiri Sirah Community Indonesia.
Bulan depan, lanjut beliau, insya Allah akan diadakan workshop dengan topic “Kontestasi Masjid dan Gereja di Kota Solo” yang akan dibawakan oleh Arif dan Muhammad Isa Anshory, penulis buku “Mengkristenkan Jawa”.*/kiriman Wahyudi Husain (Surakarta)