SUDAH seharusnya kerja kemanusiaan tidak berhenti hanya sampai pada fase emergency. Fase pemulihan fisik dan sosial, menjadi pengharapan masyarakat yang mengalami musibah. Tim Sympathy Of Solidarity (SOS) ACT Rohingya-3, hadir di Rakhine State, Myanmar, tepatnya di kota Sittway – wilayah terpanas di Myanmar, untuk menjajaki pemulihan fisik dan sosial pasca konflik komunal yang memaksa etnik Rohingya keluar dari Myanmar.
Tim SOS-ACT Rohingya 1 dan 2, telah menunaikan tugas kemanusiaan, Agustus-September lalu, baik di Sittway maupun sejumlah Kamp di Bangladesh. Tim 1, Andhika P. Swasono, hadir di Bangladesh 40 hari lamanya, sedangkan Tim 2 – Doddy Hidayat, ke Sittway Agustus lalu setelah rangkaian ikhtiar mencari akses masuk Myanmar dari pertemuan lintas organisasi sosial di Jakarta, Kualalumpur (Malaysia) dan Bangkok (Thailand).
Saat Doddy masuk ke Sittway, situasi masih menegangkan dan kondisi Aung Mingalar – desa Rohingya yang masih utuh ketika itu karena dalam penjagaan aparat keamanan. Tak kurang dari 1.000 keluarga berdiam di sana (lokal), ditambah sekitar 250 keluarga yang menumpang karena etnik lainnya mengusir mereka dari desanya.
Berbeda dengan stgrategi organisasi kemanusiaan lainnya yang memilih masuk diam-diam, bersiasat, atau melalui otoritas pemerintah Myanmar (pusat, di Yanggon), saat itu Doddy selain mendayagunakan relawan lokal, memberanaikan diri menemui pemerintah Rakhine State di Sittway, dan diterima dengan baik.
“Sebagai bagian strategi, bantuan kemanusiaan juga diberikan untuk kaum dhuafa non-Rohingya,” jelas Doddy yang usai kembali dari Myanmar, mendapat mandat baru di ACT sebagai Direktur Global Humanity Response (GHR).
Lobby Doddy, berhasil meyakinkan Pemerintah Rakhine State, kehadiran ACT tak sekadar karitatif melainkan sampai fase pemulihan fisik dan sosial.
“Kami meyakinkan mereka, pada kunjungan berikutnya kami akan mendirikan shelter ukuran besar. Mereka tertarik gagasan pembangunan fasilitas sosial seperti ini. Hanya saja, ketika melihat desain kami yang bentuknya semi permanen, mereka meminta fisik bangunan disesuaikan dengan yang sudah dibangun lebih dulu di wilayah mereka. Rancangan kami dianggap lebih baik dan berpotensi memicu rasa cemburu warga yang lain,” ungkap Doddy.
ACT menerima saran itu. Shelter yang akan dibangun pun berbeda dengan standar yang bisa dibangun di wilayah bencana di Indonesia (seperti di Padang atau Jogja pasca gempa), tapi berbahan lokal dominan bambu dan berikuran besar.
“Mereka tidak mengira saat kami tawarkan, kami siap membangun 10 shelter ukuran besar,” tambahnya. Hasil perbincangan itu, Doddy mewakili ACT, mengantongi surat izin membangun shelter. Surat “sakti” inilah yang berguna sekali melancarkan proses-proses penyampaian bantuan lanjutan.
Doddy pada September lalu kembali ke Jakarta. Setelah menyiapkan segala keperluan aksi lanjutan, 28 September lalu, Doddy kembali ke Sittway. Kali ini, ia ditemani, Maman Sudiaman (relawan ACT, Jakarta), dan M. Riadz Hashim (ACT Kualalumpur, Malaysia).
Pada kesempatan kedua, Tim SOS-ACT Rohingya-3 ini mengusung dua misi penting: assesment program Global Qurban 1433H, mengupayakan ternak dan titik pelaksanaan kurban di Sittway, dan melakukan assesment pembangunan shelter.
Jumat, (05/10/2012), Doddy memperoleh mitra dan stok hewan qurban untuk pengungsi Rohingya di Myanmar, tepatnya di Se Tha Ma Gyi.
Ia juga mengabarkan prototype shelter berukuran 25×30 feet atau setara dengan 7.5×9 meter2 telah selesai. Ukuran ini merupakan model yang telah ditetapkan oleh pemerintah Rakhine.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Sebenarnya kami (ACT) ingin membuat shelter yang lebih besar namun tidak bisa karena harus mengikuti ukuran yang telah ditetapkan oleh pemerintah setempat,” ujar Doddy. “Kami saat ini dalam persiapan membangun shelter,” tambahnya.
Benar, situasi Sittway sedang menghangat. pemicunya, beredarnya informasi, Aung Mingalar, desa yang menjadi pusat berlindung etnik Rohingya, telah menerima banyak bantuan, sementara warga non-Rohingya tidak mendapatkan apa-apa.
Setelah sempat rusuh, situasi mulai terkendali, meskipun di bagian utama desa ini dikelilingi police-line, ujar Doddy.
ACT insyaAllah tetap bisa meneruskan rencana membantu etnik Rohingya, dengan catatan, warga Rakhine non-Rohingya juga memperoleh bantuan.
“Dengan kepala dingin dan membuka pikiran, ACT bersama elemen kemanusiaan Myanmar ingin berperan memulihkan kedamaian di Myanmar,” kata Doddy mengakhiri laporannya.*
Aksi Cepat Tanggap, Jakarta 7 Oktober 2012
Feri Kuntoro (Humas ACT)
Doddy Hidayat ( Tim SOS ACT Rohingya)