Oleh: Prof Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Hidayatullah.com | ISTILAH moderat akhir-akhir ini mencuat menjadi istilah jawaban terhadap stigmatisasi umat Islam dengan fundamentalisme dan terrorisme. Istilah ini nampak nya berfungsi sebagai penjinak terorisme.
Mirip dengan fungsi sekularisme tahun 1970-an sebagai penjinak fundamentalisme. Pada tahun 2008 sebuah simposium digelar di Tokyo Jepang. Isunya adalah tentang arti Muslim moderat dan masa depan politik Islam.
Karena pentingnya istilah ini maka pada edisi tahun 2000 ke atas American Journal of Islamic Social Sciences mengangkat tema ini secara serial. Sedikitnya ada tiga kelompok yang memperebutkan arti moderat.
Ini yaitu mereka yang anti-Islam, orang Barat dan orang Islam.
Definisi Islam moderat yang anti Islam dapat dilihat pada situs “muslims against shariah”. Di situ ditulis begini di antaranya: moderat adalah yang tidak antibangsa Semit, menentang kekhalifahan, kritis terhadap Islam, menganggap Nabi bukan contoh yang perlu ditiru, pro-kebebasan beragama, pro-kesetaraan gender, menentang supremasi Islam, pemerintah sekuler, Pro atau netral terhadap Israel, tidak bereaksi ketika Islam dan Nabi Muhammad dikritik, menentang pakala, menentang syariat, menentang terorisme serta pro- humanisme universal.
Andrew McCarthy dalam National Review Online, 24 Agustus 2010 justru dengan tegas menyatakan siapapun yang membela syariat tidak dapat dikatakan moderat (No one who advocates shariah can be a moderate). Kedua pengertian ini sungguh-sungguh tidak moderat.
Islam moderat dalam perspektif Barat hampir seragam. Muslim moderat, kata Graham Fuller adalah yang menolak literalisme dalam memahami kitab suci, tidak monopoli penafsiran Islam dan menekankan persamaan dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran agama lain. Inilah yang ditirukan orang liberal di Indonesia.
Fuller bahkan ngelantur, moderat adalah yang mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam mengatur dunia. Senada tapi lebih ekstrim lagi, Ariel
Cohen mengartikan moderat sebagai menghormati hak menafsirkan al-Qur’ an, hak menyembah Allah dengan caranya sendiri, atau tidak menyembah atau bahkan tidak percaya. Lagi-lagi ini alam pikiran kelompok “Islam Liberal” yang kental bau orientalismenya.
Bagi Rabasa, moderat adalah mereka yang dapat menerima kultur demokratik, mendukung demokrasi dan menerima HAM internasional, termasuk mengakui kesetaraan gender, kebebasan beribadah, menghormati pluralitas, menerima sumber hukum yang tidak sektarian dan memusuhi terrorisme dan segala bentuk kekerasan.
Definisi Rabasa, Graham maupun Cohen memangg henar-benar liberal. Dan mungkin bagi orang liberal itu biasa dan “nothing wrong” tapi justru yang menemukan kesalahan adalah John L. Esposito. Dengan bijak dia kritik begini:
Pertama, jika definisi Barat itu diterima maka Muslim konservatif dan tradisionalis menjadi tidak moderat. Selain itu jika seorang wanita Muslim memimpin shalat Jumat menjadi kriteria moderat, maka banyak orang Kristen, Yahudi dan penganut agama lain termasuk Paus John Paul II yang patrialitis itu justru tidak masuk kriteria moderat.
Louay Safi dan Ubid UIlah Jan tokoh Muslim di Canada, memiliki kesan yang sama. Pengertian moderat yang pro-Barat ataupun yang anti-lslam sama saja. Seorang Muslim belum dianggap moderat jika belum menolak al-Qur’an secara publik.
Tapi masalahnya, menurut Esposito, jika untuk menjadi moderat orang harus mengingkari kitab sucinya, maka Yahudi moderat juga harus mengingkari kitab sucinya. Padahal kitab suci itulah yang menjadi penyebab klaim negara ‘Israel’ dan pendudukan tanah Palestina.
Kerancuan lain juga ditemukan Safi. Menurutnya, pengertian “Muslim moderat di Barat adalah “a person Who is not comfortable with his/her Islamic roots and heritage, and openly hostile to lslam, and eager transcend all Islamic norms”.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Contoh yang nyata, katanya, ada pada figur Irsyad Manji seorang feminis terkenal mengkritik Syariat (Bukunya: The Trouble Islam: A Muslims Call for Reform in Her Faith), tapi pada saat yang sama mengaku sebagai pelaku lesbi. Anehnya figur seperti ini oleh Barat dianggap sebagai “the voice of moderation”.
Bagi Muqtedar Khan, cendekiawan Muslim asal Kanada, moderat itu adalah yang berpikiran terbuka, kitis, menghormati semua orang, bermoral, beramar ma’ru nahi munkar (QS 5: 48, 3: 110), tidak ada intimidasi dan kekerasan. Sahabatnya Ubid Ullah Jan menambahkan, Muslim yang menolak ketidakadilan atau Muslim yang hidupnya hanya untuk ibadah masih dianggap moderat. Tentu semua itu tanpa kekerasan.
Jadi, istilah moderat bisa diplesetkan menjadi sama arti dengan liberal. Atau bahkan bisa menjadi anti-Islam dan pro-Barat. Inilah alat untuk mengalahkan apa yang mereka sebut radikalisme. Padahal untuk mengalahkan bayang-bayang fundamentalisme tidak perlu liberalisme.
Dan agar menang melawan hegemoni kolonialisme Barat tidak perlu ekstremisme. Kebajikanlah yang akan mengalahkan kejahatan atau kekerasan, vincit vim virtus.*
Artikel dari buku “MISYKAT: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi dan Islam”