Oleh: Muhammad Arifin Ismail
Hidayatullah.com | Dalam Hadis yang diceritakan oleh Ibnu Abbas dinyatakan bahwa pada suatu hari datanglah seorang perempuan kepada Nabi Muhammad berkata: Diriwayatkan dari Anas bin Malik, dia mengatakan :
جئن النساء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلن: يا رسول الله، ذهب الرجال بالفضل والجهاد في سبيل الله تعالى، فما لنا عمل ندرك به عمل المجاهدين في سبيل الله؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من قعد -أو كلمة نحوها -منكن في بيتها فإنها تدرك عمل المجاهدين في سبيل الله”.
Seorang wanita datang menemui Rasulullah ﷺ berkata : “Wahai Rasulullah, laki-laki memiliki keutamaan dan mereka juga berjihad di jalan Allah. Apakah bagi kami kaum wanita bisa mendapatkan amalan orang yang jihad di jalan Allah? Rasulullah ﷺ bersabda: “ Brangsiapa di antara kalian yang tinggal di rumahnya maka dia mendapatkan pahala mujahid di jalan Allah.” (Rujuk QS: Al Ahzab 33: 33)
Dari hadis diatas dapat dilihat bahwa persamaan antara wanita dan perempuan, atau emansipasi wanita bukan berarti persamaan dalam semua bidang.Tetapi persamaan dalam nilai dan pahala dimana jika wanita melakukan tugas dan kewajibannya yang sesuai dengan fitrah kewanitaannya, maka dia akan mendapatkan pahala dan nilai yang sama dengan kaum lelaki yang menjalankan tugas dan kewajibannya seperti berjihad di dalam medan perang.
Hadis diatas yang memberikan penekanan bahwa ketaatan istri kepada suami, dan mengurus rumah tangga sedangkan suami keluar berjihad, bukan berarti merendahkan kedudukan seorang wanita, sebab wanita tersebut berada di rumah juga sedang menjalankan sebuah kewajiban dan tanggungjawab. Sebagaimana seorang lelaki yang berperang dan berjihad juga menjalankan sebuah tangungjawab, sehingga kemuliaan seseorang bukan pada dimana dia berada, apa profesi yang dilakukannya, tetapi tergantung bagaimana dia menjalankan kewajiban dan tugas yang telah diberikan kepadanya.
Baca: Perlukah Memberi Label Feminis pada Sayyidah Aisyah Ra
Seorang istri duduk di rumah, mengurus rumah tangga, bukan berarti menjadikan rumah sebagai penjara bagi istri, tetapi merupakan pembagian tugas dalam sebuah keluarga. Suami bekerja di luar rumah, sedangkan istri mengurus anak-anak, mengurus rumah tangga sehingga keluarnya suami dari rumah mencari rezki tidak menganggu suasana dalam rumah.
Dalam Islam, pekerjaan istri di dalam rumah bukanlah suatu kehinaan, tetapi merupakan suatu kemuliaan. Diriwayatkan bahwa seorang lelaki mendatangi kediaman khalifah Umar bin Khattab untuk mengadukan akhlak istrinya.
Sewaktu sampai di sana, dia mendengar istri khalifah sedang memarahi Khalifah Umar bin Khattab, dan saat itu khalifah hanya diam mendengarkan keluhan istrinya. “Akhirnya dia pulang sambil berkata dalam hatinya: Khalifah saja diam mendengarkan keluhan istrinya, maka bagaimana dengan diriku?“.
Tak lama kemudian, Khalifah Umar keluar dan memanggilnya. Apa keperluanmu? Lelaki itu menjawab: “Wahai Amirul Mukminin, saya datang dengan maksud ingin mengadukan perlakuan istriku kepada diriku, tetapi setelah aku mendengar suara isterimu memarahimu dan engkau tetap diam mendengarkannya, maka aku berkata pada diriku, jika amirul mukminin saaja sabar atas kemarahan istrinya, maka kenapa aku harus tidak sabar dengan istriku.“
Mendengar itu Khalifah Umar bin Khattab berkata: “Wahai saudaraku, sesungguhnya saya bersabar, karena memang istri mempunyai hak atasku. Dialah yang telah memasak makanan buatku, mencuci pakaianku, menyusukan anak-anakku, padahal semuanya itu tidak diwajibkan atasnya. Disamping itu, dia telah mendamaikan hatiku untuk tidak terjerumus kepada perbuatan yang diharamkan. Oleh karena itu, aku sabar atas segala pengorbanannya.”
“Wahai Amirul Mukminin, istrikupun demikian, kata lelaki itu. Umar pun menasehatinya: “Bersabarlah wahai saudaraku, karena kemarahan istrimu itu hanya sebentar.“
Demikianlah kemuliaan istri dalam Islam, sebagaimana dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab terhadap istrinya.
Baca: Perempuan Indonesia Dijajah, Salah Siapa?
Di negara Barat pada hari ini, jika ada seorang wanita yang meninggalkan pekerjaannya dan memilih untuk di rumah melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk menjaga anak-anaknya, maka oleh masyarakat Barat hari ini, perempuan tersebut dianggap sebagai pahlawan. Sebab ia dianggap berani meninggalkan suatu pekerjaan yang mempunyai nilai ekonomis demi untuk masuk ke dalam rumah mengurus anak-anak.
Pilihan tersebut bagi mereka merupakan sebuah pengorbanan seorang istri yang lebih mengutamakan pendidikan anak-anak di rumah daripada kerja yang mempunyai gaji. Bagi mereka pendidikan anak-anak di rumah dan mengurus rumah tangga lebih baik daripada pekerjaan di luar rumah.
Oleh sebab itu di beberapa negara Barat, jika seorang perempuan melahirkan mereka akan mendapatkan cuti melahirkan sampai 1 tahun – 1,5 tahun malah ada sebagian negara lain yang memberikan cuti melahirkan sampai 2 tahun dengan cuti bergaji. Lebih hebat lagi, disebagian negara Barat (Norwegia) cuti kelahiran juga diberikan kepada suami agar suami pada tiga bulan pertama agar suami dapat mengurus anak yang baru lahir bersama dengan istrinya dan membantu istrinya yang masih lemah sebab baru melahirkan.
Tetapi sangat disayangkan sikap masyarakat Barat yang begitu memuliakan istri di dalam rumah tersebut hilang dan tidak pernah kedengaran. Sebab hal ini hilang oleh slogan emansipasi wanita yang ditiupkan dari Barat kepada negara-negara muslim.
Mereka hanya meneriakkan emansipasi wanita, hak-hak wanita untuk keluar rumah. Pada waktu yang sama mereka menyuruh masyarakat lain agar membebaskan wanita dari rumah, bekerja tanpa melindungi hak wanita, sehingga hak cuti lahirpun hanya diberikan 3 atau 4 bulan saja, padahal si anak memerlukan waktu dua tahun untuk menyusui.
Baca: MUI: Yang Bela Emansipasi Wanita di Luar Koridor Islam Tak Diakui
Kita sepatutnya sadar, bahwa slogan emansipasi sengaja ditiupkan kepada masyarakat Muslim. Dengan slogan ini institusi keluarga masyarakat muslim terancam hancur, yang berakibat kepada melahirkan generasi yang tidak terdidik dengan baik, sehingga umat Islam di masa depan menjadi umat Islam yang tidak memiliki kekuatan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Setiap tahun kita disibukkan slogan emansipasi wanita. Sebelum Raden Ajeng Kartini (1879-1904), telah banyak wanita muslimah yang berkecimpung dalam sebagai bidang sehingga dapat menjadi Ratu dan Kepala Negara di Kerajaan Aceh. Sebut saja Ratu Safiatuddin (1641-1675), Sultanah Naqiyatuddin (1675-1678), Sultanah Zakiatuddin (1678-1688), Sultanah Zinatuddin (1688-1699).
Wanita Muslimah juga pernah menduduki panglima perang seperti Cut Nyak Dien (1850-1908) Cut Mutia (1870-1910). Di kerajaan Acheh, juga kita mengenal Laksamana Malahayati yang menewaskan Panglima Belanda Cornelis de Houtman pada tahun 1599 di atas geladak kapal.
Malahan di antara wanita muslimah pada zaman dahulu sudah ada menjadi pemimpin lembaga pendidikan seperti Tengku Fakinah (1856-1938) yang memimpin lembaga pendidikan pondok pesantren di Aceh.
Dalam organisasi , masyarakat muslim Nusantara telah mengenal perjuangan wanita Aisyiah dalam organisasi Muhamadiyah, Fatayat dalam organisasi Nahdathul Ulama, dan lain sebagainya. Mereka ini semua aktif di dalam masyarakat tanpa harus meninggalkan tanggungjawab sebagai istri, dan ibu rumah tangga.
Maka sangat aneh, jika pada hari ini kalangan liberal dengan bangganya ingin menuntut hak persamaan hak antara lelaki dan perempuan dalam segala bidang. Padahal sejarah perjuangan wanita dalam masyarakat Muslim tidak pernah mengenal diskriminasi wanita, mereka terkesima dengan slogan Barat liberal yang ingin menghancurkan tatanan rumah tangga Muslim, sebagaimana dikatakan oleh tokoh Feminis Barat Ellen Wilis, bahwa tujuan emansipasi wanita adalah “to undermine traditional family values”, untuk menghancurkan nilai-nilai keluarga masyarakat tradisional.
Semoga kita sadar bahwa slogan emansipasi adalah slogan untuk menghancurkan nilai-nilai wanita bukan untuk kemuliaan wanita, sebab Islam telah menjamin kemuliaan wanita tanpa harus mengorbankan hak-hak keluarga. Fa’tababiru Ya Ulil albab.*
Penulis aktif di PCIM Malaysia