Oleh: Bahrul Ulum
Hidayatullah.com | BARU-BARU ini beredar sebuah wacana tentang usulan puasa wajib di luar bulan Ramadhan. Diantaranya ditulis oleh Ketua Tim Penyusun Kurikulum Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah al-Hadid, Yayasan al-Kahfi, Surabaya dalam artikel berjudul “Mengganti Puasa Ramadan Secara Kolektif” (dalam https://telegra.ph, 04 April 2020).
Alasan penulis tersebut, berpuasa di masa pandemi Covid-19 pasti menimbulkan kemudaratan atau kerusakan pada kehidupan manusia. Asumsinya, puasa dapat menurunkan imunitas dan memudahkan virus menyerang tubuh manusia.
Dia mengambil sebuah analogi tentang pengharaman khamr dan judi pada surat Al-Baqarah ayat 219. Menurutnya, kedua perilaku di atas dinyatakan oleh Allah bisa menimbulkan kerusakan dari pada manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Dalam hal ini, Allah tidak merincinya secara detail tentang hukumnya, sehingga diserahkan kepada umat Islam lewat perintah penggunaan akal. Karena nilai khamr dan judi menjadi buruk, maka pada tataran fikih bersifat wajib untuk ditinggalkan. Ayat ini juga menjadi petunjuk bagi umat Islam supaya menggunakan metode di atas untuk menilai atau mengukur suatu perbuatan, positif atau negatif, merugikan atau menguntungkan, haram atau halal.
Menurutnya, semua peraturan yang bersifat teknis atau yang berstatus wajib, sunah, makruh, bersumber dari hitungan nilai baik dan buruk. Dan nilai itu bersumber dari hitungan manfaat dan mudarat riil di lapangan. Tidak terkecuali hukum-hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunah.
Berdasar pemahaman di atas, sang penulis menyimpulkan bahwa hal itu bisa diberlakukan pada ibadah puasa saat pendemi. Apalagi daya kerusakan akibat pandemi lebih dasyat.
Faktor-faktor tersebut sudah dipandang cukup dikategorikan sebagai perbuatan yang bernilai negatif, dan secara fikih bersifat wajib untuk ditinggalkan atau haram dilakukan.
Dia kemudian memberi contoh apa yang sudah dilakukan oleh para ulama seperti melarang (haram) sholat Jum’at, padahal sebelumnya bersikap wajib. Melarang umrah dan haji, sebelumnya wajib bagi yang mampu. Melarang sholat terawih, Idul Fitri, sebelumnya bersifat sunah sekarang menjadi haram dsb.
Atas dasar itu kemudian menyimpulkan bahwa puasa yang bersikap wajib dapat menjadi haram atau dilarang ketika terjadi pandemi, sebagaimana para ulama atau negara menghalalkan yang sebelumnya diharamkan, mengharamkan yang sebelumnya diwajibkan untuk dilakukan.
Karena itu perlu dilakukan puasa di luar bulan yang di dalamnya tidak ada pendemi secara kolektif. Alasannya, pemindahan puasa Ramadhan memiliki beberapa dampak positif dari segi aspek kesehatan, ekonomi, maupun psikologis.
Disamping itu, menurutnya, juga didukung ayat Al-Qurán surat Al-Baqarah 184 yang intinya jika seseorang sakit boleh tidak berpuasa. Sekiranya penyakitnya ringan dan tidak berpengaruh signifikan saat menjalankan puasa, berpuasa itu lebih baik. Tapi (dalam keadaan tersebut) jika tetap tidak berpuasa juga, maka tidak berdosa, sebagai keringanan dari Allah. Sebaliknya jika sakitnya berat, dan penyakitnya itu berpengaruh signifikan terhadap kesehatan atau kesembuhan ketika menjalankan puasa, apalagi sudah ada perintah dokter (ahli) agar tidak berpuasa, berpuasa akan menjadi buruk dan mendatangkan kemudaratan, maka (dalam kondisi tersebut) sebaliknya tidak berpuasa akan mendatangkan kebaikan.
Kekeliruan Berfikir
Secara logika, argumentasi penulis di atas seakan masuk akal dan ilmiah. Tetapi sesungguhnya, mengandung banyak kejanggalan kekeliruan.
Analisanya yang mengatakan bahwa semua peraturan Islam yang bersifat teknis bersumber dari hitungan nilai baik dan buruk serta hitungan manfaat dan mudharat riil di lapangan dalam konteks puasa Ramadhan saat pandemi Covid-19, tidaklah tepat.
Puasa berbeda dengan shalat berjamaah atau haji dan umrah. Penyebab menyebarnya wabah Covid-19 adalah berkumpulnya banyak orang. Karenanya shalat berjamaah dan umrah dianggap sebagai media yang sangat mudah bagi penuluran wabah sehingga ditiadakan dan diganti dengan shalat di rumah. Sedang puasa bukan ibadah yang membutuhkan pertemuan banyak orang sehingga tidak tepat bila diganti di bulan lainnya.
Setiap orang bisa berpuasa di rumah masing-masing. Apalagi ibadah ini memiliki nilai lebih jika tidak umumkan kepada orang lain. Artinya, puasa merupakan ibadah yang sifatnya hanya diketahui oleh orang yang puasa dengan Allah. Karenanya orang berpuasa tidak perlu berkumpul dengan lainnya. Bahkan kalau bisa dirahasiakan puasanya demi menjaga keihlasan.
Allah menegaskan penyandaran puasa hanya kepada-Nya sebagaimana disebutkan dalam sebah hadits Qudsi,“Semua amal Bani Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya dia adalah unntuk-Ku dan Aku yang akan membalasannya.” (Muttaf alaih) dari hadits Abu Hurairah
Maksudnya penyandaran kalimat puasa kepada Allah menunjukan akan keagungan ibadah tersebut. Sedang amal dhahir seperti shalat sering dirusak oleh syaitan dengan cara memasukkan riya kepada seseorang yang beramal. Sedang puasa tidak terlihat oleh manusia dan tidak tersusupi riya’ dan hanya Allah yang mengetahuinya. (Syarah Bukhari oleh Syaikh Al-Qasthalani, 8/472 dan Syarah Ibnu Bathal, juz 4)
Adapun kekhawatiran akan menurunya daya tahan tubuh saat puasa, merupakan kekhawatiran yang berlebihan dan tidak berdasar. Kalau pun ada, sifatnya kasuistis, sehingga tidak bisa digeneralisir.
Untuk menjaga stamina yang baik, syariat sudah memberikan panduan yang jelas. Diantaranya, orang yang berpuasa dianjurkan sahur di akhir waktu dan berbuka di awal waktu. Artinya, Islam sangat memperhatikan masalah perubahan stamina manusia dengan mengantisipasi lewat syariat tersebut. Dari Anas bin Malik Rasulullah ﷺ bersabda,“Segerakanlah berbuka dan akhirkanlah Sahur.” “(al-Kamil Ibnu Adi, 6/323, Silsilah Shahihah, 1773). Hal ini juga ditegaskan oleh sahabat Zaid, “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah ﷺ lalu melaksanakan shalat. Anas berkata, Aku bertanya kepada Zaid: “Berapa jarak antara adzan dan Sahur ?”. Dia menjawab: ‘seperti lama membaca 50 ayat’” (HR. Bukhari dan Muslim).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Demikian juga hasil penelitian National Institute on Ageing dan Dr dr Ahmad Zainullah, SpP, menunjukkan bahwa amalan puasa justru menyehatkan. Imunitas orang puasa yang diteliti rata-rata meningkat selama dan sesudah menjalankan puasa. Ini artinya, pendapat penulis di atas sudah terbantahkan.
Penelitian ini sejalan dengan sebuah riwayat, dari sayyidina Ali bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah menurunkan wahyu kepada sebagian nabi dari bani Isroil: Kabarkanlah kepada kaummu, tiada seorang hamba yang berpuasa sehari kecuali mengharapkan ridhoku maka aku sehatkan tubuhnya dan aku besarkan pahalanya”.(HR. Baihaqi).
Adapun udzur bagi orang yang sakit termasuk kekhususan, bukan bersikap umum. Yang boleh tidak berpuasa adalah orang yang sakit jika sakitnya menyebabkan semakin parah atau menimbulkan kematian. Adapun orang yang tidak sakit atau tidak bepergian hukumnya wajib berpuasa di bulan Ramadhan. Kalau dia menunda dengan alasan adanya pandemic, tidak bisa diterima dan termasuk mengada-ada.
Berdasar penjelasan ini, apa yang diusulkan oleh penulis di atas tidak berdasar pada kajian yang mendalam tentang puasa. Semestinya ia mengkaji dari berbagai prespektif, al-Qurán dan Sunnah dengan metode istinbath hukum yang dipakai oleh para ulama. Bukan metode yang hanya berpatokan pada akal semata dengan hanya mengambil nash sesuai kemampuannya.
Puasa Ramadhan lebih afdhal dilakukan pada bulan yang ditentukan, kecuali ada udzur syar’í, bukan udzur yang dibikin seakan-akan syar’I, padahal tidak. Marhaban Ya Ramadhan.*
Dosen Ushul Fiqh dan Sekretaris MIUMI Jawa Timur