Sambungan artikel PERTAMA
Politisasi Tubuh di balik RUU P-KS?
Bagi feminis, tubuh perempuan termasuk organ reproduksinya diyakini mempunyai kuasa tawar (bargaining power) untuk membangun tradisi baru dalam kehidupan individu, keluarga dan sosial. Dora Russell, misalnya mengusulkan agar menjadikan tubuh perempuan sebagai alat politik untuk meraih tuntutan hak-hak perempuan. Ide pembebasan tubuh perempuan dalam menikmati kesenangan seksual adalah tema yang ditekankan berulang-ulang untuk memberi kemajuan perempuan ke arah kesetaraan dan kebebasan. Maka tugas penting feminisme modern menurut Russel adalah untuk menerima dan mempropagandakan seks. Dari sinilah muncul ide mempolitisasi tubuh perempuan untuk menguasai dunia.(lihat: The Body and Socialism: Dora Russell in the 1920s).
Shulamith Firestone dalam bukunya: The Dialectic of Sex berpendapat bahwa organ reproduksi membuat perempuan mudah dikontrol laki-laki, dan derajatnya dipandang lebih rendah sepanjang sejarah. Teori biologisme Firestone bagaimana pun telah mengenalkan teori dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui isu-isu tentang seksualitas dan reproduksi.
Solusi feminis untuk melawan hegemoni dan dominasi laki-laki dalam masalah seksual terangkum dalam jargon ”My Body My Rights”. Jargon ini merupakan kampanye global untuk menghentikan kontrol dan kriminalisasi seksualitas dan reproduksi. Tubuh perempuan adalah hak milik perempuan yang tidak boleh diintervensi oleh agama, negara dan laki-laki. Maka perempuan mempunyai kewenangan mutlak untuk mengelola, mengatur dan mengekspresikan tubuhnya sendiri secara bebas dan mandiri. Termasuk hak melakukan aborsi dan hak memilih melakukan atau menolak berhubungan seksual dengan suami atau orang yang dikehendaki.
Maka dari sini dapat dipahami kenapa istilah yang digunakan feminis dalam RUU P-KS adalah “kekerasan seksual”, bukan “kejahatan seksual”? Kekerasan seksual bisa berarti segala aktivitas seksual yang dilakukan terhadap korban atas dasar ketiadaan persetujuan dan kerelaan, atau karena keterpaksaan.
Maka dengan menggunakan istilah “kekerasan seksual” maka cakupan deliknya semakin luas, termasuk berpotensi memidanakan suami atas delik pemerkosaan terhadap istrinya; atau kepada suami yang selalu membujuk istrinya agar mau melahirkan anak. Juga termasuk tentang kebebasan perempuan melakukan aborsi, dan di sisi lain istilah kekerasan seksualberkecenderungan “melindungi” pegiat penyimpangan seksual, seperti prostitusi, LGBT, dll.
Menggunakan istilah “kejahatan seksual”, tentunya membawa beban kerja yang lebih berat untuk memahamkan masyarakat. Sebab sistem nilai keindonesiaan otomatis akan menolak segala macam delik di atas. Inilah maksud kekuatiran yang timbul di kalangan masyarakat bijak pandai sehingga perlu mewaspadai agenda tersembunyi dari feminis di balik perluasan definisi kekerasan seksual menjadi kekerasan berbasis gender dan keengganan mereka mengganti dengan istilah “kejahatan seksual”.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Penutup
Maraknya kasus kebebasan seksual yang berakibat pada pemerkosaan, kehamilan di luar nikah, fenomena penyimpangan perilaku seksual, dll., adalah tragedi kemanusiaan yang seharusnya menuntut penyelesaian secara arif. Bukan malah dipolitisasi untuk menancapkan ideologi yang berpotensi merusak ketahanan keluarga Indonesia. Segala bentuk kejahatan seksual adalah tindak kemungkaran dan berbasis nafsu, bukan gender. Sebab baik laki-laki maupun perempuan bisa menjadi pelaku atau korban kejahatan seksual. Maka memaksakan solusi hukum yang berangkat dari pandangan hidup (worldview) asing yang kosong dari nilai-nilai spiritualitas dan keindonesiaan merupakan bentuk anopsia nalar gender yang tidak berkeindonesiaan.*
Penikmat Studi Gender dan Pemikiran Islam