Sambungan artikel PERTAMA
Adapun pendiri bangsa dari kalangan Islam memilih Islam bukan berarti memaksa seluruh kehidupan non muslim harus islami. Mereka hanya menuntut ruang publik yang harus di-islam-kan. Bukan kehidupan pribadi kelompok non muslim. Sebab, mereka meyakini Islam memberikan ruang besar untuk kemajemukkan dan tidak menindas kelompok komunal minoritas.
Dalam Islam solusi dari kalangan non muslim bisa saja diterapkan sepanjang dijustifikasi Islam, atau tidak ditemukan riciannya dalam Islam. Ini misalnya tercermin kebijakan Umar yang mengadopsi sistem administrasi Romawi, penggunaan dinar-dirham, dan kebijakan Umar seputar jizyah yang ia terima dari aspirasi kelompok Kristen Bani Taghlib.Corak demikian ditemukan pula dalam sistem liberalis. Bukankah negara liberal ala Rawls dan Kymlicka juga menuntut ruang publik yang liberal?
Jadi para pengritik negara berbasis Islam dengan dalih negara bercorak demikian sangat anti keberagaman dan berpihak, sejatinya gagal dengan argumennya sendiri. Keberagaman yang harus diartikan dengan bebas dari anasir agama dan berdiri sejajar untuk semua dalam teori keberagaman lebih merupakan mitos ketimbang fakta.
Pancasila dan Teori Keberagaman
Sebagai sebuah konsensus nasional, Pancasila mencoba menerima eksistensi kemajemukan dalam tubuh keindonesiaan. Hanya saja makin ke sini, makin sering tuduhan mentah melayang kepada pejuang syariat. Mereka kerap dituding anti kemajemukan, karena mendorong sektarianisme syariat. Apakah benar pejuang syariat dalam bingkai Pancasila adalah sektarian yang anti keberagaman?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada dua formula pokok yang juga harus disertakan saat membincang kemajemukan dan relasinya dengan Pancasila.
Pertama, Pancasila menerima keberagaman dari semua nilai komunal dalam ruang publik. Termasuk di dalamnya nilai agama. Postulat seperti ini bukan barang baru dipraktikkan dalam teori keberagaman seperti konsep kompetisi nilai ala Talisse saat ia mengkritik Rawls. Atau modus vivendi-nya John Gray. Bahkan modus vivendi versi Gray dengan gamblang menyebut millet system Turki Utsmani sebagai salah satu model solusi yang dapat diadopsi dalam pluralitas nilai. (John Gray, “Where Pluralists and Liberals Part Company,” International Journal of Philosophical Studies, 6, (1998), hal 33)
Namun, gagasan ini mempunyai penentang. Contoh terdekat penentang formula pertama ini terpantul pernyataan Djarot Saiful Hidayat, cawagub pecundang dalam pilgub Jakarta kemarin. Ia menentang partisipasi agama dalam regulasi dengan dalih keberagaman. Atau juga sikap Franz Magnis, budayawan Katolik, yang menolak formalisme agama. Dalih tersebut mirip dengan argumen Rawls tentang public reason.
Sayangnya gagasan Rawls -yang ingin independen dari semua nilai- pada ujungnya bias dan berpihak pula. Kepada siapa? Kepada liberalisme. Saat semua nilai, filsafat (comprehensive value) lain tak boleh masuk di ruang publik karena dipandang berpihak, nilai liberalisme justru dipersilakan menyusup. Padahal liberalisme adalah bentuk comprehensive value juga, tepatnya comprehensive liberal yang sarat nilai. Itulah mengapa Talisse sampai mengatakan: “Were he (Rawls) to engagein philosophical theorizing to establish that reasonable pluralism is indeed afact, he would no longer be a political, but a comprehensive liberal.” (Robert Talisse, “Liberalism, Pluralism, and Political Justification,”(Robert Talisse, “Liberalism, Pluralism, and Political Justification,” The Harvard Review of Philosophy, 2, (2005), hal 64.)
Serangan Talisse disokong Gray yang juga menyebut netralitas dan independensi gagasan Rawls bermasalah. Bermasalah di sini dimaknai dari sisi filosofis. Antara keberagaman dan liberalisme, bagi Gray, terdapat kontradiksi bukan keserasian, sebagaimana diklaim Rawls. Sebab, membatasi nilai lain di luar liberalisme demi netralitas sejatinya bukan netralitas, melainkan keberpihakan (partiality) yang dibungkus netralitas.
Kedua, Pancasila tidak bisa membiarkan nilai mayoritas yang mendasar dikalahkan oleh nilai lain (minoritas) dalam masalah pokok di ruang publik. Sebagai sebuah falsafah negara yang majemuk, Pancasila tidak dapat ditafsirkan dengan tafsir yang bertentangan dengan nilai mayoritas dengan dalih kemajemukan. Ini lazim berlaku dalam teori keberagaman.
Mungkin banyak yang menduga, garis tafsir seperti ini hanya dimiliki kelompok konservatif yang sering dituduh anti keberagaman. Kenyataannya bertolak belakang. Garis tafsir seperti ini juga dipraktikkan sejumlah filosof dan intelektual dari kubu liberal, khususnya liberal multikulturalis penyokong teori kemajemukan. Bahkan juga komunitarian. Joseph Raz, intelektual liberal asal Israel dari kubu liberal multikulturalis, mengatakan bahwa salah satu respon liberal terhadap kemajemukan adalah membatasi minoritas agar tak mengintervensi budaya mayoritas. “It consists in letting minorities conduct themselves as they wish without being criminalized, so long as they do not interfere with the culture of the majority.” (Joseph Raz, Ethic in Public Domain, Oxford: Oxford Unibersity Press 1994, hal 172)
Hal yang sama dilakukan Kymlicka. Tokoh liberal multikulturalis ini berupaya agar liberal majority mampu mengubah illiberal minority saat illiberal minority mempraktikkan nilai yang bertentangan dengan liberal majority. Bahkan dalam isu pokok, negara harus berani mengintervensi. (Will Kymlicka, Multicultural Citizenship, Oxford: Oxford University Press, 1995, hal 163-170)
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sikap ini makin menunjukkan eksistensi relasi nilai mayoritas-minoritas begitu kentara dalam teori keberagaman. Ia bukan barang asing. Membuang isu nilai mayoritas-minoritas dengan mengatasnamakan netralitas justru menunjukkan ketidaksehatan nalar. Bagaimana mungkin minoritas bisa menerjang nilai mayoritas yang berarti merusak kontributor terbesar dari sebuah sistem nilai. Dampak dari tindakan seperti itu hanya menciptakan kekacauan sistemik.
Jadi, apakah memperjuangkan norma agama dalam negara Pancasila merupakan sektarianisme anti keberagaman? Jawabannya tidak. Karena memperjuangkan nilai tertentu dalam keberagaman adalah fitrah politik. Bahkan yang mengaku-aku netral terbukti tidak bisa lepas dari doktrin partikular pula, sebagaimana diperlihatkan Rawls.
Mengamati perdebatan sengit dalam teori keberagaman, makin terbuka bahwa tuduhan anti keberagaman yang disematkan pada pejuang nilai-nilai keagamaan (baik dalam konteks negara berdasar Islam atau negara Pancasila) tidak memiliki pijakan kokoh. Tuduhan tersebut mentah dan dangkal. Apa yang dilakukan pendukung syariat dalam konteks negara Pancasila tidak asing dalam teori kemajemukan. Justru ia bagian integral dari konsepsi kemajemukan.
Dengan demikian pernyataan Wakil Gubernur DKI, Drarot Saiful Hidayat, lebih bernuansa ketakutan ideologis ketimbang logis. Argumen yang dipakai cenderung dangkal tidak memperhatikan secara mendalam corak keberagaman dan terlalu phobia terhadap hukum agama. Wallahu a’lam bis showab.*
Mahasiswa Magister Islamic Studies, Konsentrasi Agama dan Politik, Sekolah Pascasarjana (SPS) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta